Header Arif

Header Arif

Selasa, 22 Maret 2011

Menu Utama Menyambut Hari


Dalam sebuah rumah sederhana di pinggiran Banyuwangi, saya memulai hari dengan perbincangan ringan bersama dua orang teman. Tidak ada gosip pagi itu, hanya sedikit tanya jawab seputar daerah yang baru kami sambangi tersebut. Obrolan kami pun tidak berlangsung lama, karena kemudian teman saya yang tuan rumah mengajak kami untuk sarapan. Menu sarapan pagi itu begitu sederhana. Teman saya si empunya rumah menyajikan tiga piring nasi goreng dengan masing-masing sebuah telur goreng di atasnya. Menu yang sederhana bukan? Tapi sangat istimewa menurut saya. Terus terang, menu sarapan yang disajikan pagi itu, membuat saya bahagia juga terharu.
Rasa bahagia saya tidak bisa tertutupi, terbukti dengan lahapnya saya menyantap nasi goreng itu sambil sesekali mulut saya menyerocos mengajak teman saya mengobrol sembari makan. Tapi rasa haru saya, tidak saya pertontonkan kepada kedua teman sarapan saya pagi itu. Suapan demi suapan, saya merasakan nikmatnya nasi goreng tersebut. Pada suapan-suapan tertentu, saya juga merasakan seperti ada yang mengganjal di kerongkongan saya. Saya susah untuk menelan. Saya jadi lebih banyak mengunyah sambil menghitung jumlah kunyahan, yang ternyata sudah lebih dari standar makan yang baik dan benar. Saya mencoba memejamkan mata, bukan karena ingin menjadi penikmat kuliner sejati, yang memaksa fungsi kuncup pengecap pada lidah saya bekerja dengan maksimal untuk membedakan rasa manis, pahit, asam dan asin, pada masakan tersebut, agar bisa mencela atau memuji masakannya. Tapi pada saat itulah saya mencoba menutupi rasa haru yang sedang mengerubungi.
Sudah lama saya tidak mengawali hari dengan sarapan yang ‘istimewa’ seperti itu. Hari-hari saya lima tahun ke belakang, sering saya memulainya hanya dengan mengunjungi warung-warung kecil di dekat kontrakan atau kantor tempat saya bekerja, demi segelas kopi dan sarapan dengan menu yang berganti-ganti setiap harinya. Tapi tidak pernah saya memakan nasi goreng, karena memang tidak pernah ada saya temukan dijual di pagi hari. Saya punya banyak kenangan dengan nasi goreng yang disajikan sebagai sarapan, alhasil jadilah acara sarapan kami pagi itu seperti ‘ritual pemanggilan kembali’ kenangan masa lalu bagi saya. Kenangan saya jadi tertarik jauh ke belakang, ke tanah kelahiran saya di pelosok Medan.


     Saya tidak bisa memastikan, kapan waktunya untuk pertama kali saya dijejali nasi goreng di pagi hari. Yang bisa saya ingat waktu itu adalah hari yang bersejarah bagi saya: hari pertama saya akan memasuki Sekolah Dasar Negeri 067979 Medan. Senang sekali rasanya saat itu bisa mengenakan seragam merah putih, walaupun pakaian itu bekas kakak saya. Rasa gembira saya seperti meledak-ledak, sehingga ibu saya terpaksa sampai beberapa kali menyuruh menghabiskan nasi goreng yang disajikannya untuk saya. Itulah pagi pertama saya mulai akrab dengan nasi goreng, esok harinya hingga beberapa tahun ke depan, tepatnya hingga ibu saya menjadi almarhumah, saya berani bilang, hanya sedikit pagi yang terlewatkan tanpa nasi goreng.
Jika awal bulan, saat jatah beras dari tempat bapak saya bekerja masih banyak, kami bisa sarapan nasi goreng dengan porsi standar ditambah beberapa pecahan telur kecil-kecil di dalamnya. Tanggal makin bergeser, maka ibu hanya menggoreng nasi sisa malam kami saja, kemudian dibagi secara merata untuk kesembilan anaknya. Tentu saja porsinya berkurang, juga tanpa telur, tapi kami tetap bisa menikmati sarapan dengan ceria sembari berkelakar, tak lupa juga saling mengingatkan tentang pekerjaan rumah yang diberikan guru-guru kami, setelah itu kami pun berhamburan menuju sekolah masing-masing.
Tidak pernah ada daging yang dipotong dadu dalam nasi goreng kami, sosis, tomat, timun, salada dan juga remah-remah lain tidak ada. Hanya nasi goreng apa adanya saja, bila malam hari sebelum tidur kami melihat ada dua ekor ikan tersisa, maka esok paginya kami akan mendapatkan potongan ikan yang kecil-kecil di dalam nasi goreng kami. Porak-porandanya ekonomi keluarga kami tak menghalangi hadirnya nasi goreng di pagi hari, karena ibu sebagai koki keluarga kami sangat menguasai tekhnik memasak nasi goreng dalam kondisi ekonomi keluarga yang gonjang-ganjing tersebut. Di saat krisis, untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan pada nasi goreng kami karena dimasak dengan minyak bekas penggorengan, maka beliau akan menaburkan sedikit garam saja sewaktu menggorengnya. Uniknya, kami anak-anaknya yang sembilan besaudara itu, sangat suka jika nasi goreng tersebut dimasak dengan minyak bekas penggorengan (atau biasa kami sebut minyak jelanta), karena kami bisa mengecap rasa ikan di nasi goreng kami walaupun ikannya tidak ada.
Saat pundi-pundi keuangan keluarga membaik dan stabil, juga terus mengikuti trend naik, nasi goreng tetap hadir di pagi hari, ibu tidak tergoda untuk mengganti menu sarapan kami (semisal roti, steak, dll), karena beliau menyadari kami adalah orang Indonesia asli, yang perutnya harus ‘kena’ nasi baru bisa kenyang. Dalam kondisi susah, senang, kemudian susah lagi, nasi goreng tidak pernah alpa di tengah-tengah keceriaan pagi keluarga kami. Tak heran, nasi goreng pun kemudian menjadi salah satu alasan untuk mengadakan reuni mingguan keluarga kami. Ketujuh kakak saya yang sudah berkeluarga, secara bergilir, kadang juga bersamaan terpaksa harus bermalam di rumah orang tua kami hanya untuk menyicipi nasi goreng di Minggu paginya.
Nasi goreng telah menjadi menu utama menyambut hari bagi keluarga kami. Almarhumah ibu saya menjadikan nasi goreng sebagai menu ‘permanen’ makan pagi kami sekeluarga hingga akhir hayatnya. Terhitung dengan jari jika kami bisa terelakkan dari menu utama itu. Saya tidak perlu ‘mendeklarasikan’, tapi saya berani berkata jujur, bahwa saya punya keintiman dengan nasi goreng di pagi hari, dan saya susah untuk melupakannya, seperti saya susah untuk melupakan orang-orang yang saya cintai.
Ah…Ingin rasanya suatu saat saya terbangun pagi hari dan mendapatkan nasi goreng sudah tersaji, lalu menikmatinya bersama istri dan anak-anak saya.