Header Arif

Header Arif

Rabu, 23 November 2011

Turis 'Asing' di Negeri Sendiri

Jalan menuju Kampung Rambutan masih lengang, waktu tempuh yang dibutuhkanpun hanya 20 menit dari kontrakan saya di Lenteng Agung. Tadinya saya beranjak dari kandang usai sholat Jum’at, tapi hingga jam 3 sore bus Jakarta–Bandung yang saya tumpangi masih saja mondar-mandir di sekitar Kampung Rambutan. Bersyukur kali ini bus yang saya tumpangi ber-AC, jadi saya tidak berpeluh ria lagi seperti biasa, karena biasanya saya selalu naik kendaraan umum yang kelas ekonomi.
Kawasan puncak Bogor dan Bandung pasti akan ramai yang menyambangi jika akhir pekan, mulai dari pejabat yang punya rumah cadangan di sana, pengusaha yang mau menghambur-hamburkan uang, eksekutif muda yang mencari kesenangan, pasangan  yang ingin memadu kasih, hingga turis gembel seperti saya. Gelombang ‘eksodus’ mingguan inilah penyebab utama volume kendaraan di jalan raya meningkat, akibat turunannya adalah kendaraan jadi merayap radius beberapa kilometer menuju gerbang tol, bahkan di jalan tol sekalipun.
Matahari hampir terbenam total ketika bus yang saya tumpangi sampai di Padalarang, penumpang banyak yang bergegas turun, saya masih santai menikmati pendingin di bus itu, maklum, jarang-jarang naik kendaraan ber-AC. Tiba-tiba si kernet bus berteriak, “Yang mau ke Bandung pindah ke bus belakang”. Saya yang sedari tadi coba melakoni orang kaya di dalam mobil berpendingin, jadi kaget bukan kepalang, ditambah sedikit kecewa sama si kondektur. Ternyata bukan hanya saya yang kecewa, ada 13 penumpang lain yang juga merasakannya. Kami, 14 penumpang dicampakkan sama si kernet ke bus lain yang menuju Terminal Leuwi Panjang.
Sudah gelap, tapi belum terlalu malam saat saya dalam angkutan kota tujuan Dago. Di persimpangan Jalan Raya Dago dan Jalan Surapati sebuah monitor raksasa berukuran kurang lebih 4 x 7 m menarik perhatian saya, bukan karena ukurannya yang besar, tapi karena iklan yang ditayangkan di monitor itu. Ada beberapa objek wisata alam Bandung yang dipromosikan di situ, seperti Tangkuban Perahu di Lembang, Situ Petanggeng di Ciwidey, Kebun Binatang, Bumi Perkemahan Ranca Upas, Curug Cimahi, Taman Hutan Raya Dago, dan Kawah Putih Ciwidey. Saya malas menghitung sudah berapa kali ke Bandung, tapi tempat-tempat tersebut belum pernah saya samperi. Setibanya di kontrakan teman saya pun, saya masih saja terus dibuat penasaran dengan tempat-tempat wisata tadi, tapi saya musti istirahat dulu malam itu, mungkin besoknya  saya bisa mengunjungi tempat-tempat wisata alam tersebut.


“Apa sih yang mau kau lihat di sana, nggak ada apa-apa di sana, tempatnya juga kotor, lagian ke sana itu jauh”.
Kalimat tersebut di atas terlontar begitu saja dari mulut teman saya ketika saya membujuknya untuk mengunjungi Kawah Putih Ciwidey. Akhirnya, saya hanya bisa pasrah karena hari itu tidak dapat berplesiran ke tempat wisata tersebut. Masih ada hari esok, untuk hari ini lakukan saja apa yang bisa dilakukan. Baiklah, tapi, kalau bisa dilakukan hari ini, kenapa menunggu esok hari. Ah sudahlah, memberontak agar dapat pergi ke tempat wisata itu pun tidak ada artinya, pasti teman saya juga tidak akan mau berangkat, saya harus bisa menerima ABCD (Anak Bandung Cinta Damai), akhirnya saya berdamai saja dengan teman tersebut Jadilah hari itu kami hanya berkelana ria mengelilingi Bandung bagian kotanya saja, keluar-masuk mall dan distro hanya untuk cuci mata saja tanpa belanja, mengelilingi beberapa kafe dan tempat-tempat jajanan anak muda, namun akhirnya cuma mampu berlabuh di sebuah warung tenda sepi di pinggiran jalan. Pilihan saya dan teman saya jatuh ke warung itu karena kami memiliki keyakinan yang sama tentang warung tersebut, yaitu “harga makanan di situ pasti murah”. 
Banyak hal-hal yang tidak penting kami bicarakan di warung itu, karena kalau obrolan penting, seperti bisnis dan memikat lawan jenis misalnya, pasti akan mengambil tempat di kafe-kafe bermerek luar negeri, atau setidaknya yang daftar harganya mahal sekali, agar dapat meyakinkan orang yang kita ajak bicara. Karena saya dan teman saya sudah saling mengetahui keadaan ekonomi kami masing-masing, maka tempat makan murah itu sangat nyaman bagi kami, lumayan lama kami di situ cuma ngobrol ngalor-ngidul, karena memang tempatnya benar-benar nyaman dan sejuk, sebab di sekitar warung tenda itu masih banyak pohon-pohon yang batangnya seukuran tiga pinggang orang dewasa. Pohon jenis Mahoni berusia puluhan tahun, yang jika salah satu pohon itu rubuh maka kami semua yang tertimpa akan mati, tapi besoknya kabar kematian kami tidak langsung menjadi headline di beberapa media cetak maupun elektronik, karena berita kematian akibat tertimpa pohon kalah seksi dibanding berita wanita cantik yang teraniaya di negeri jiran. 


    Bandung Lautan Api sebutan lawas untuk kota tersebut. Di era millennium, karena satu peristiwa ‘esek-esek’ yang menggemparkan, dan entah siapa yang memulai, kota ini kemudian sempat dijuluki Bandung Lautan Asmara, karena nila setitik rusak susu sebelanga istilah pepatah. Yang teranyar, tapi sebenarnya tidak terlalu anyar-anyar sekali karena geliatnya sudah terasa sebelum reformasi, kota ini lebih santer disebut Bandung Lautan Distro. Penamaan yang belakangan ini, seolah Bandung yang mendapat predikat Paris van Java oleh kumpeni, terseret kekinian Kota Paris sebagai kiblatnya mode dunia. Dapat dikatakan bahwa Bandung sekarang menjadi barometer tersendiri ketika berbicara mengenai fashion as personal statement
Distro yang telah beranak-pinak di Bandung menjadi surga tersendiri bagi para penggila belanja dan mode serta orang-orang yang punya kepentingan dengan penampilan. Konsentrasi sebagian besar pengunjung yang berbondong-bondong ke Bandung pun kini telah tertuju hanya pada pusat-pusat belanja tersebut, tidak ke wisata alamnya. Di masa-masa seperti ini, jika pun Anda berhasil memijakkan kaki di tempat-tempat wisata yang telah saya sebutkan tadi di atas, maka itu tidak cukup kuat untuk mensahkan Anda telah ke Bandung. Anda baru bisa dibilang telah sah ke Bandung jika sudah mengunjungi Jalan Riau, Jalan Aceh, atau tempat-tempat lain di mana distro-distro itu bercokol. Tidak perlu pembuktian dengan adanya foto narsis Anda di depan salah satu distro tersebut, cukuplah dengan membelikan sebuah sweater, tas atau salah satu saja barang yang ada dijual di situ untuk orang-orang terkasih, maka Anda akan mendapatkan pengakuan tersebut. 
Tiga hari tiga malam waktu saya tersedot habis untuk berkeliling Kotamadya Bandung, niatan ke tempat-tempat wisata alamnya tak kesampaian. Meringkuk di dinginnya Dago, menikmati kuliner paket hematnya, juga terpesona melihat mojang-mojangnya. Cuaca dingin membuat nafsu makan saya naik, dan bukan cuma itu saja, nafsu birahi saya pun ternyata mengikuti ‘trend’ naik juga, hormon testosteron saya membakar dorongan seks. Apa karena tergerak masalah hormonal ini, lantas saya jadi seperti terhalusinasi melihat para mojang-mojang itu jadi seperti Drew Barrymore semua? Ah dasar otak mesum. Setelah dengan pikiran jernih saya mendekati para mojang itu, sebenarnya mereka memang cantik walaupun tanpa bersolek. 
Mungkin lain waktu saya bisa mengunjungi wisata alam di Bandung, jadi saya tidak perlu merasa kecewa yang teramat sangat. Saya juga tidak perlu menggantikan kegagalan berwisata alam itu dengan berwisata birahi di wilayah Saritem. Mungkin juga ada orang-orang Bandung sendiri yang belum pernah melancong ke tempat-tempat wisata alam itu, seperti saya orang Medan yang belum pernah ke Danau Toba. Sudahlah, saya tidak mau pusing memikirkan hal itu, karena saya dan teman saya harus meneruskan perjalanan kami ke Yogyakarta.

@ Yogya
Pukul dua puluh lebih tiga puluh menit, tujuh gerbong kereta api kelas ekonomi diberangkatkan dari Stasiun Kiaracondong, Bandung, menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Jarak tempuh sekitar 400-an km, hanya mampu dicapai dengan waktu sembilan jam perjalanan. Jangan pernah coba membandingkan Kereta Api Kahuripan ini dengan Kereta Api TGV di Perancis, yang mampu berjalan dengan kecepatan 574,8 km per jam. Bersyukur sajalah dengan kendaraan yang masih disubsidi pemerintah ini, karena cukup membayar Rp.25.000, kita bisa sampai ke Yogyakarta. Berbicara nyaman pun tak pantas di sini, sebaiknya sediakan saja uang recehan untuk berderma kepada para pengamen yang sikapnya kurang bersahabat dan tiada putusnya sepanjang perjalanan.
 Inilah untuk pertama kali saya dan teman saya jalan bersama ke Yogyakarta, sebelumnya kami melakukan perjalanan masing-masing secara terpisah, jadi kami harus menyatukan visi perjalanan ini dulu. Akhirnya kami sepakat, Borobudur dan Prambanan yang akan kami kunjungi, Parang Tritis kami coret dari jadwal kunjungan kami. Sementara tempat-tempat lain sembari jalan saja, lagian itu juga tidak mungkin terelakkan, seperti Malioboro, Alun-alun Keraton, juga angkringan. Ada yang terlupa, Pasar Kembang. 
Berbekal sepeda motor pinjaman, kami melesat ke Borobudur pada hari ketiga kami di Yogya. Sinar matahari yang menimpa tidak membentuk bayangan, matahari tepat di atas ubun-ubun ketika kami sampai di cagar budaya itu. Ini kali pertama saya ke Borobudur setelah sekian lama hidup di dunia ini. Senang bukan kepalang, meledak-ledak, nervous juga, tapi saya coba menahan sikap, karena takut dibilang norak sama orang-orang di situ. Tapi tetap saja sikap kampungan saya kelihatan, saya sibuk minta difoto di sana-sini, jepret sana jepret sini, minta difoto dari beberapa angle yang berbeda. Dasar! 
Jauh hari sebelum saya ke Borobudur, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, perihal tentang Borobudur yang termasuk salah satu dari tujuh keajaiban dunia tercetak di dalam buku pelajaran saat itu. Karenanya saya prihatin ketika mendengar Borobudur telah dicampakkan dari kelompok tujuh keajaiban dunia tersebut. Warga dunia mungkin bersekongkol untuk mengkerdilkan wisata di Indonesia. Atau jangan-jangan karena kita tidak pintar melestarikan peninggalan-peninggalan berharga di negeri kita. 
Pemandangan yang saya saksikan saat berada di Borobudur saat itu setidaknya membuat saya sangat terhibur. Bukan karena pemandangan candi dan alam di sekitarnya yang memang indah, tapi karena candi itu masih banyak dikunjungi oleh wisatawan. Mulai dari turis mancanegara bermata sipit, juga turis ‘bule’ bertubuh jangkung, sampai turis domestik. Pengunjung dari luar negeri rata-rata diiringi guide tour yang terbekali wawasan tentang Borobudur, mereka bukan hanya bisa menikmati keindahan candi, tapi juga penjelasan ringkas tentang Borobudur, setidaknya bisa menambah pengetahuan. Bagi pengunjung yang menganut agama Budha, mereka juga bisa melakukan ritualnya di situ. Sedangkan pengunjung lokal, saling mencari makna sendiri-sendiri, atau silahkan menguping, karena tidak ada guide tour yang mendampingi. Atau baca sajalah informasi-informasi ringan yang ada di sekitar candi. Para orang tua yang membawa anak-anaknya tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang Borobudur, maka jadilah candi tersebut seperti taman bermain yang mengundang emosi pengurus candi yang terluap melalui beberapa pengeras suara di sekitar Candi Borobudur. 
“Perhatian untuk seluruh pengunjung Candi Borobudur. Dilarang memanjat dinding-dinding candi, dan juga bagian-bagian candi yang lain, sekian dan terima kasih”.
Kurang lebih seperti itulah bunyinya, dikumandangkan dengan Bahasa Indonesia, pasti tujuannya untuk orang Indonesia, karena tidak ada diucapkan dengan bahasa lain. Himbauan yang bisa terdengar setiap setengah jam sekali. Saat saya perhatikan, memang ada beberapa anak-anak kecil, remaja bahkan orang dewasa lokal yang memanjat dinding agar bisa melihat-lihat pemandangan di sekitar atau sekadar untuk berfoto, tetapi turis asing juga ada yang memanjat. Diskriminasi! Atau karena takut dengan orang luar. Seperti yang saya perhatikan saat ngaso di dekat pintu masuk ke candi, beberapa petugas berjaga untuk mengarahkan pengunjung yang mau keluar ke arah pintu keluar sesungguhnya. Jika pengunjung lokal yang salah jalan, petugas akan menunjukkan jalan keluar, jika pengunjung berkeras, maka petugas lebih keras, intinya, petugas adalah pemenang akhirnya. Lucunya, di saat seorang turis mancanegara salah jalan, si petugas tetap juga mengarahkan ke jalan keluar utama, tapi kali ini si turis berkeras, tahu apa yang terjadi? Si petugas ciut, si cewek bule itu dibiarkan berlenggang kangkung menuruni tangga. Pak penjaga itu kali ini kalah, dia tidak bisa menegaskan hukum adalah hukum. Dasar mental terjajah.
Pintu keluar-masuk Candi Borobudur dirancang terpisah untuk memberikan kenyamanan kepada para pengunjungnya, agar pengunjung yang masuk dan keluar ke candi tidak saling berdesak-desakan. Di pintu masuk, beberapa juru foto akan segera menyambut hangat menawarkan jasa fotonya, sedangkan di pintu keluar, pengunjung akan digiring ke mini sentra perbelanjaan cinderamata, para pedagang pun terus berusaha menawarkan dagangannya kepada para pelancong. Bagi yang punya uang, bisalah membeli beberapa miniatur Candi Borobudur, atau baju bergambar Candi Borobudur, bagi  saya dan kawan saya yang bokek, hanya menjawab “Tidak” kepada setiap pedagang yang menawarkan, sembari berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat parkir. 


      Letih tidak sanggup menggerogoti rasa penasaran, terbukti ketika saya dan teman saya akan berangkat ke Prambanan. Sehari sebelumnya, saat kami pulang dari Borobudur badan saya serasa remuk-redam, malamnya pun kami hanya istirahat beberapa jam, tapi keesokan paginya kami bisa terbangun sesuai rencana. Usai mandi, kami langsung memacu sepeda motor di jalan raya, menuju Prambanan tanpa sarapan pagi. 
Gempa berkekuatan 5,9 pada skala richter yang mengguncang wilayah Yogyakarta pada tahun 2006, masih meninggalkan bekas di Prambanan. Setibanya kami di Prambanan, candi ini masih dalam tahap perbaikan, hanya dua candi dalam keadaan sehat wal’afiat, selebihnya sedang dalam perawatan intensif. Trisakti harus tetap mengkilap, Siwa dan Brahma sepakat mengutus sang Pemelihara, Wisnu bergegas menunggang Garuda lantas berada di ketinggian beribu kaki, lalu mengerlingkan mata kepada dunia untuk menebar pesonanya. Alhasil, daya pikat candi ini tetap ada, terlihat dari masih ramainya wisman dan wisdom yang berkunjung ke situ. Sukses! Provokasi yang dilakukan Siwa dan Brahma terhadap Wisnu berhasil. 
Informasi ringan tentang Candi Prambanan terpajang di dekat pintu masuk dan di sekitar candi, tidak usahlah saya tuliskan di sini. Jika Anda ingin mengetahui, ada baiknya Anda meminta bantuan Mr.Google di dunia maya. Anda tidak perlu mengintimidasi, cukup ketik Prambanan, maka akan banyak informasi yang mengarah ke situ. Waktu kami berplesiran bertepatan dengan waktu libur panjang anak sekolah, tak heran saat itu kami mendapatkan gerombolan pelajar dari dalam maupun luar Kota Yogyakarta yang mengikuti acara study tour di Candi Borobudur dan Prambanan. Jika di zaman saya masih sekolah dulu acara rekreasi seperti ini belum disebut pakai bahasa Inggris (study tour, maksud saya), tapi tujuannya tetap sama, yaitu belajar sambil berwisata guna memperkenalkan secara langsung kepada para pelajar tempat-tempat bersejarah di Tanah Air. Walaupun tempat-tempat yang kami kunjungi dulu lebih didominasi oleh museum dan kebun binatang, tapi semangat dan keceriaan yang kami rasakan dulu sama seperti yang dirasakan pelajar-pelajar ini. Rezeki yang berbeda tapi kadar kebahagiaannya sama. 
Senang sekali rasanya melihat para pelajar begitu antusias terhadap candi-candi ini, kebawelan mereka yang kadang membuat beberapa guru jadi gagap menjawabnya, keusilan mereka terhadap bangunannya, juga tingkah narsis mereka yang demen foto sana, foto sini. Ternyata saya sangat asyik masyhuk memperhatikan para pelajar itu, tanpa saya sadari, tiba-tiba siang sudah mau the end saja, puncak kunjungan kami ke Prambanan itu ditutup dengan pemandangan sore yang sangat indah, semakin indah ketika segerombolan mahasiswi berbondong memasuki halaman Candi Prambanan. Bila melihat pelajar tingkat SD, SMP dan SMU saya teringat masa laluku, berbeda ketika saya melihat para mahasiswi ini, saya seperti melihat masa depan saya. Muda-muda, cantik dan ramah, ah...seperti melihat Rara Jonggrang dan kloningannya, ingin rasanya saya memperkenalkan diri sebagai Bandung Bandawasa kepada mereka dan berjanji akan membuatkan seribu desain grafis dalam satu malam jika mereka mau saya persunting menjadi permaisuri. 
Jantung manusia berdenyut 70-80 kali per menit dengan teratur, saya merasakan sesuatu yang tidak normal dalam jantung saya, karena degupannya lebih kencang dan tak beraturan, jika denyut jantung saya didengar menggunakan stetoskop, maka akan didapatkan bunyi DUG-DUG-dug-DUG-DUG-DUG-dug tanpa fase istirahat dan tanpa ritme. Penyebabnya adalah, ah...masalah klasik, karena perempuan. Seorang perempuan berkulit kuning langsat, wajahnya oval, rambutnya sebatas bahu, matanya bagus, alisnya juga bagus dan halus mendekat ke arah saya sembari mengumbar senyum. Oh...Gusti! Diakah Rara Jonggrang itu, atau dia Drupadi Seda? Kemudian, di belakangnya menyusul lagi seorang perempuan bertubuh jangkung, wajahnya begitu mempesona, senyumnya juga, hidungnya begitu spesifik serta proporsional sehingga melengkapi kemanisan di wajahnya. Ini bukan mimpi! Sungguh, karena mereka berdua lalu memperkenalkan diri kepada saya sebagai mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung yang sedang mengikuti study tour di Candi Prambanan. Mereka meminta saya untuk menjawab beberapa pertanyaan yang mereka ajukan guna melengkapi survey study mereka. Naluri jantan saya menyala, mulai dari menggoda kecil, gombal sana-sini hingga seribu puja-puji saya lontarkan. Alhasil, perbincangan kami jadi hangat, ngawur kesana kemari. Cinta memang akrab dengan hambatan, di saat benih-benih cinta sudah mulai tumbuh, kami justru dipisahkan oleh pak dosen yang tak rela membiarkan kami terus terhanyut dalam obrolan kekasih hati di sore itu. Mereka harus segera kembali ke hotel, saya tak berdaya sembari merenung, ternyata mojang-mojang Priangan memang terlihat cantik dalam kondisi cuaca apapun. Saya ralat kata-kata sayasebelumnya di atas tentang gadis Bandung dalam cuaca dingin. Saya terkena kutukan love at the first sight, saya jadi motah malamnya. 
Keseriusan para pelajar perlu ditanggapi, semangat mereka juga harus didukung, alangkah indahnya jika para guru, pakar, ilmuwan dan pemerintah duduk satu meja untuk mencari temuan cara belajar baru bagi para anak didik, setidaknya agar para peserta didik tidak hanya memandang Borobudur dan Prambanan bukan hanya tumpukan batu yang berbentuk candi atau hanya terhanyut dalam legendanya saja, tapi bagaimana agar mereka bisa mendapatkan, misalnya semangat dan ketekunan masyarakat dulu yang mendirikan candi-candi tersebut di kisaran tahun 800 Masehi itu, juga mendekatkan mereka kepada ilmu hitung-hitungan membangun candi ini yang menggunakan sistem interlock dengan cara yang sangat menghibur tentunya. Karena jika dilihat pada kenyataannya, banyak pelajar yang merasa jeri dengan matematika, ngeri untuk memahami kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan belum tertarik dengan peristiwa sehari-hari yang dekat dengan ilmu fisika. 
Sementara, biarlah dulu ini menjadi urusan yang punya wewenang, karena saya dan teman saya adalah individu yang tak bisa berbuat banyak untuk hal semacam itu, dan juga karena kami harus melanjutkan lagi misi jalan-jalan kami ke Pulau Dewata.....

'Ngilu' di Penghujung Ramadhan


Hari-hari di penghujung ramadhan menjadi hari-hari yang paling menyusahkan hati saya. Di sini saya bukan sebagai orang taat beragama yang sedih meninggalkan bulan penuh rahmat ini  karena kegalauan akankah bertemu ramadhan lagi di tahun depan? tapi sebagai seorang yang sudah tidak memiliki keluarga yang utuh lagi, sehingga tidak tahu harus merayakan hari yang suci tersebut dengan siapa.
 Saya ingat Idul Fitri pertama saya tidak berkumpul dengan keluarga. Saat itu Idul Fitri 1425 H. Usai melakukan Sholat I’ed saya menghubungi orang tua saya yang berada di Banda Aceh. Terus terang, karena saat itu saya belum terbiasa jauh dari orang tua, apalagi di hari yang Fitri, di mana saya biasa sungkem kepada orang tua untuk meminta maaf, maka ketika itu saya menangis tersunguk-sunguk sambil meminta maaf lahir bathin kepada kedua orang tua saya. Tidak ada yang mengetahui rahasia Sang Khalik, ternyata itulah Idul Fitri terakhir saya memiliki orang tua, karena empat puluh dua hari setelah saya termehek-mehek itu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, saya resmi menjadi yatim piatu, keluarga saya tersapu gelombang tsunami dan mayatnya tidak pernah ditemukan. 


      Satu kehilangan akan menghasilkan satu kesedihan, saya menghitungnya seperti itu, meskipun saya tidak mengharamkan jika ada orang yang menghitung satu kehilangan akan menghasilkan seribu kesedihan. Kembali ke hitung-hitungan saya, enam orang yang begitu saya cintai hilang dalam bilangan detik, berarti saya memiliki enam kesedihan. Dan saya tidak tahu bagaimana harus menerimanya saat itu.
Setelah memiliki kehilangan itu, saya pernah merasakan asinnya air mata saya di mesjid sana-sini ketika mendengarkan takbir berkumandang, merasakan cemburunya melihat orang-orang berziarah kubur, juga merasakan pahitnya melihat orang-orang berkumpul bersama keluarganya di saat Idul Fitri. Itulah alasan kenapa saya membenci ketika aroma Lebaran sudah mulai tercium, karena saya takut hidup sendiri, tanpa ibu dan keluarga saya tentunya. Pernah di tengah kegamangan hidup sendiri, saya menanyakan ke beberapa orang, apakah saya pasti akan bertemu dengan keluarga saya lagi jika saya menyusul mereka? Sayang tidak ada orang yang bisa menjaminnya, dan karena alasan itu pula saya masih hidup sampai sekarang. 
Tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari kehilangan, termasuk saya. Tapi saya tidak mau intim dengan rasa kehilangan, walaupun bagi saya rasa kehilangan itu sudah seperti musim banjir di Jakarta yang datang setahun sekali. Maka, jadilah setiap memasuki Idul Fitri saya mulai kembali digenangi dengan rasa kehilangan, tapi justru dari sinilah saya mulai belajar untuk menerima kehilangan. 
Dengan rezeki yang saya terima, saya tidak bisa menghindari gema takbir dengan cara lari ke manapun di mana saya tidak akan mendengar suara takbir. Jadi saya tetap terpaksa mendengar takbir berkumandang dari mesjid-mesjid di Kota Medan, atau dari musolah-musolah di pinggiran Jakarta dan pedalaman Indramayu, bahkan dari surau-suaru di pelosok Palembang dan Aceh sekalipun. Dalam keadaan seperti inilah saya terlatih untuk menerima kehilangan, bukan menghindar dari kehilangan. Bahkan saya jadi bisa merasakan nikmatnya sebuah keikhlasan atas kehilangan. Saya merasa hidup saya jadi mempunyai arti untuk orang lain, walaupun melalui cerita sedih akan kehilangan.


      Kadang saya berpikir tentang apa yang terjadi dalam hidup saya ini seperti sudah di-design. Saya diberi cobaan dengan kehilangan enam anggota keluarga, tapi saya tetap diberi ketabahan yang luar biasa, saya diberi rezeki seadanya – tapi saya sangat mensyukuri – agar saya bisa ikhlas menerima kehilangan dan mau berbagi. Jika hidup saya by design, maka saya yakin designer saya adalah Tuhan, dan Dia tidak memberi sebuah cobaan yang saya tidak mampu menerimanya.
Setelah beberapa tahun saya merasakan hati saya ’ngilu’ saat malam di mana takbir berkumandang, akhirnya saya bisa kembali tersenyum setelah kehabisan alasan untuk bersedih.


Tahun Ini Mudik ke Mana Lagi Ya?


Mudik, bagi saya sebuah pengalaman perjalanan baru dengan orang-orang baru yang akan saya kenal. Udik, orang tua, tabungan, dan hidup di perantauan, itulah Rukun Mudik, salah satunya tidak ada maka gugurlah mudik. Saya punya udik dan sedikit tabungan, juga sekarang hidup di perantauan, tapi sudah tidak punya orang tua, maka mudik saya batal. Itu mudik dan kegagalan mudik versi saya saja. Toh, selama merantau saya tetap mudik setiap tahunnya, tapi bukan mudik ke kampung halaman sendiri, melainkan ke kampung halaman siapa saja yang mengajak saya ikut mudik.
Dua tahun berturut-turut saya merayakan Lebaran di sebuah pesantren di Indramayu. Teman sekantor sayalah yang menyeret ke pesantren dengan bangunan masjidnya yang mencapai tujuh lantai itu. Saya tidak mau membahas banyak tentang pesantren tersebut maupun daerahnya, juga segala macam kegiatan saya selama di sana. Saya tidak mau berpolemik tentang eksistensi pesantren yang kontroversi itu. Kegiatan spritiual saya hanya melaksanakan sholat I’ed dengan ketidakkhusyukan, ceramahnya, kalaupun itu indoktrinasi pasti tidak mempan, karena saat mendengar khotbahnya saya tidak membuka jubah kesombongan. Sedangkan daerahnya, sudah cukuplah, mendengar namanya saja senyum cabul saya langsung mengembang, otak mesum saya langsung bereaksi, Indramayu…Oh Indramayu…


     Empat puluh delapan jam menjelang Hari Raya Idul Fitri 1429 H, giliran bibi saya yang menggiring saya ke kampung halaman suaminya di Sumatera Selatan. Perjalanan yang sudah beberapa kali pernah saya tempuh, tapi setidaknya pengalamannya pasti berbeda karena dalam suasana Lebaran. Kurang lebih tiga jam lagi di dalam kendaraan dari Jembatan Ampera menuju Desa Bumi Agung, kampung paman saya itu.
Saat Idul Fitri tiba pengunjung masjid membludak, surau tak sanggup menampung pengunjung, lapangan-lapangan dibanjiri orang-orang yang akan melaksanakan sholat I’ed, begitu juga sebuah musolah sederhana yang berjarak hanya beberapa langkah dari rumah saudaranya paman saya itu, tiba-tiba saja ramai dikunjungi orang. Yang tidak dapat tempat di dalam, menunggu di luar sambil berbincang-bincang dalam bahasa Komring. Aroma asap rokok yang belum pernah saya ketahui mereknya tersebut sudah kalah menyengatnya dengan aroma baju baru orang-orang di situ. Aromanya sama seperti baju baru saya yang belinya di Pasar Pagi di Toko Koh A Hui dan Cih Mei Mei. Untung motifnya tidak ada yang sama dengan baju saya, tapi tetap saja saya perhatikan terus orang-orang di sekitar, memastikan lagi kalau baju mereka tidak ada yang sama dengan baju saya.
Para bapak-bapak kebanyakan mengenakan baju kemeja muslim, bersarung, dan kopiah hitam, ada juga yang mengenakan batik, celana bahan dan kopiah. Kaum ibu dan para perempuan mengenakan mukenah putih, melambangkan kesucian. Senang melihatnya, seperti melihat kumpulan bidadari dari beberapa tingkatan surga. Anak muda yang di samping kanan saya mengenakan kemeja muslim dan celana jeans yang kepanjangan dan tidak memakai kopiah, cara berpakaian yang menyalahi sunnah. Di sampingnya, seorang pemuda mengenakan jeans hitam dan t-shirt hitam yang bergambar band Peter Pan, yang ini menyalahi cara berpakaian Death Metal sama sekali. Anak muda yang di sebelah kiri saya mengenakan celana bahan hitam, baju kemeja lengan panjang yang digulung bermotif kotak-kotak besar, mengenakan kopiah hitam dan rompi sweater ala Tukul, tingkahnya sama seperti saya, celingak-celinguk sana-sini memperhatikan semua orang, mudah-mudahan tidak ada yang berdandan serupa. Sedangkan saya, tidak usah diragukan lagi, bila Ivan Gunawan melihat saya, atas nama seluruh pengamat mode di dunia dia pasti akan mencerca, mengolok-olok bahkan mencaci-maki cara berpakaian saya, sehingga dia akan membuat saya trauma mengenakan pakaian apapun, rasanya lebih baik saya telanjang saja seumur hidup.


     Aneh, lucu serta noraknya cara berpakaian saya, membuat saya tidak sungkan-sungkan untuk menceburkan diri ke masyarakat setempat. Saya tidak peduli mereka menggunakan bahasa ibu, mereka tertawa, saya ikut juga tertawa. Karena begitu tidak mengertinya saya bahasa daerah mereka, saya jadi hanya seperti mendengar bunyi-bunyian saja dari mulut mereka. Mendengar obrolan demi obrolan itu, ingin rasanya saya belajar bahasa Komring. Tapi bahasa daerah saya sendiri saja saya tidak bisa, malah mau belajar bahasa daerah suku lain, nanti malah dibilang saya pengkhianat suku. Batalkan saja, lebih baik saya gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tempat-tempat umum.
Banyak manfaat mudik, banyak kearifan lokal di udik yang bisa diambil. Sayat telat mengetahuinya baru sekarang, karena mudik saat Idul Fitri adalah keinginan terbesar masa kecil saya yang tak pernah tercapai. Padahal menurut pikiran masa kecil saya, merayakan Lebaran di kampung halaman bersama kakek dan nenek dari ibu atau bapak saya adalah hal yang paling menyenangkan. Tapi sayang, sampai kakek dan nenek dari ibu ataupun bapak saya itu telah habis masa kontraknya di dunia, saya tidak pernah merasakan sekalipun merayakan hari raya dengan mereka, bahkan ketemu saja tidak pernah, apalagi bisa menerima ang pao dari mereka, mimpi saja saya tidak pernah ketemu mereka. Kampung halaman bapak saya di Seulimeum, Nanggroe Aceh Darussalam, di sanalah bersemayam kakek dan nenek dari bapak saya. Tidak kondusifnya daerah Serambi Mekah saat itulah alasan utama kenapa bapak saya tidak pernah mau mengajak  kami walau hanya sekadar memijakkan kaki di tanah kelahirannya. Tapi yang lebih pasti lagi adalah karena alasan klasik, tidak punya uang. 
Sedangkan kakek dan nenek dari ibu saya, sudah koit sebelum saya lahir, jadi ibu saya sudah tidak punya alasan kuat untuk mengajak kami berplesir ke tanah leluhurnya di Cirebon. Aceh masih menyimpan ketakutan dan rasa trauma untuk saya, sedangkan di Cirebon saya sudah kehilangan jejak. Jadi sampai sekarang saya tidak pernah memijakkan kaki di rumah kakek saya, juga tidak pernah berziarah ke makam keempat kakek dan nenek saya karena tidak mengetahuinya. Parahnya lagi, saya pun tidak mendapatkan kesempatan untuk menziarahi ibu dan bapak saya yang juga telah check out dari muka bumi ini karena digulung badai tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 lalu. Mayat mereka tidak pernah ditemukan.
Menghanyutkan diri ke dalam euforia Idul Fitrilah jalan untuk menghindar dari kesunyian diri di hari yang Fitrah, di hari yang katanya seperti terlahir kembali, di hari yang biasa saya jalani dengan saling bermaafan dan berkumpul bersama keluarga. Bagi yang mencari nafkah di rantau, mudik salah satu dari euforia itu. Ketika orang-orang perantauan sudah sibuk mau mudik, saya juga ikut sibuk mengikuti mereka, atau kalau ada yang mengajak saya selalu siap sedia, asal jangan ke Desa Teladan di kawasan Seulimum, Aceh, kampung halaman kakek saya, karena di sana yang saya ketahui dari beberapa orang yang bisa dipercaya, menjadi salah satu basis gerakan separatis, lebih baik saya ketemu dedemit, gendoruwo, pocong, kolor ijo, buto ijo dan variannya daripada ketemu pemuda-pemuda fanatik yang bersenjata.
Mudik menurut saya suatu perjalanan suci, karena pemudik berbekal hati yang tulus, menempuh jarak yang jauh dengan tujuan untuk meminta dan memberi maaf, menjaga tali silaturahim, melakukan ziarah kubur, berbagi rezeki dengan yang kurang mampu, dan banyak lagi kegiatan mudik yang bermanfaat. Tapi, bagi saya mudik salah satu kegiatan untuk memuaskan hobi; jalan-jalan. Sejak saya sudah dilepaskan orang tua untuk bepergian sendiri melakukan perjalanan antarkabupaten, sejak saat itulah saya jadi kecanduan melancong. Setiap ada liburan sekolah, selalu saya manfaatkan untuk berjalan-jalan. Sampai-sampai ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah bercita-cita ingin menjadi supir truk, agar bisa jalan jauh terus setiap hari. Keinginan saya untuk menjadi supir truk itu semakin besar ketika sering menyaksikan film BJ and The Bear yang ditayangkan di TVRI zaman dulu. Saya ingin menjadi supir truk sekaligus pembasmi kejahatan di daerah-daerah yang saya lalui. 
Banyak berjalan banyak dilihat, banyak dilihat banyak tahu, banyak tahu jadi serasa makin bego saja. Kata-kata saya ini boleh dibenarkan, boleh juga tidak. Jalan-jalan bagi saya bersentuhan langsung dengan alam, masyarakat, kebiasaan dan kekayaan lain yang dimiliki daerah tempat saya berkunjung. Semakin banyak tempat yang saya datangi, semakin banyak juga tempat lain yang ingin saya kunjungi. Semakin penasaran, semakin kagum, semakin ingin menyentuh langsung tempat-tempat ciptaan Tuhan. Kalau begitu boleh tidak saya bilang; jalan-jalan merupakan suatu bentuk meditasi terhadap Tuhan. Kalau boleh, mudik juga kan sama dengan jalan-jalan. Nah…Tahun ini aku mudik ke mana lagi ya?

Tidak Ada yang Jauh di Jogja



     Bila saya bilang, saya turun di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, pasti dengan sangat gampang ditebak kereta api kelas apa yang saya tumpangi. Pastinya, kereta api kelas ekonomi, karena ketika kereta apinya melewati Stasiun Tugu, di mana kereta api kelas bisnis dan eksekutif berhenti, kereta ekonomi ngerem sedikit saja pun tidak, seolah-olah ada tulisan di Stasiun Tugu “Kereta Api Kelas Ekonomi Dilarang Berhenti”.
Kali kedua ke Jogja, masih tetap naik angkutan massal yang murah meriah, panas, sumpek, kotor dan lusuh itu, tapi tetap saja ramai penumpangnya, bahkan terkadang jumlah pedagang, pengamen dan pengemis yang ikut nebeng di dalam kereta, kalau dijubel-jubeli, maka banyaknya bisa satu gerbong kereta sendiri.
Yang namanya kelas ekonomi, sudah tentu jadwal sampainya pun tidak bisa diprediksi dengan tepat. Sobat yang akan menjemput di Jogja pun jadi ogah-ogahan.
“Kok tidak naik pesawat aja sih…”
“Sory ya, tadi kupikir kalian turun di Stasiun Tugu, jadi aku ke sana…”
Stasiun Tugu? Padahal sudah jelas-jelas dalam SMS saya bilang turun di Stasiun Lempuyangan. Mungkin sobat yang sudah lama tinggal di Jogja itu, tahu dengan pasti jadwal molornya kereta api ekonomi. Jadi, daripada dia menunggu kedatangan saya dan teman-teman yang tak pasti jamnya, kenapa tidak kami saja yang dibuatnya menunggu. Dasar!
“Ok! Kita nunggunya di luar stasiun aja. Minum kopi atau teh sambil nikmati suasana Jogja,” tukas saya menyemangati teman-teman seperjuanganku ketika kami memijakkan kaki di tanah Sri Sultan.
Sudah lumrah, setiap beberapa langkah menuju pintu keluar stasiun di mana pun, pasti ada saja yang menyambut dengan hangat, siapa lagi kalau bukan tukang ojek dan supir taksi. Keramahannya pun tergantung kota tujuan, tetapi di Jogja boleh dibilang sangat ramah.
“Mau ke mana Mas?,” sambut tukang ojek dengan ramah.
“Mau di antar ke mana Mas?,” timpal supir taksi lagi tak mau kalah ramah.
“Gak Mas, nunggu dijemput teman,” kata teman saya.
Selesai!
Tidak ada pakai diikuti terus, tidak ada acara paksa-paksaan.
“I Love Jogja,” kata teman saya tiba-tiba dengan logat Bataknya.
Bagaimana tidak teman saya itu tiba-tiba sanggup mengucapkan kata itu. Mungkin karena kaget melihat keramahan dan ketenangan stasiun di Jogja lalu begitu saja kata-kata itu keluar. Karena kami acap kali ‘perang mulut’ atau bahkan sikut-sikutan dengan calo setiap berada di stasiun, terminal, pelabuhan maupun bandara di Kota Medan.
Sebuah warung di depan Stasiun Lempuyangan kemudian kami jadikan tempat mengaso sambil menunggu jemputan. Tidak pakai baca-baca buku menu segala yang memang tidak ada di warung itu, langsung pesan apa yang ada saja, bukan apa yang selera, karena perut sudah keroncongan dan kerongkongan sudah kering kerontang. Masing-masing sepiring nasi soto dan segelas teh manis. Segelas kopi jadi minuman ronde kedua. Sudah berbatang-batang rokok terhisap, si sobat belum muncul juga. Ngobrol ngalor-ngidul yang bisa kami lakukan sambil menunggu si sobat. Kopi ditambah, rokok pun dibeli lagi, tapi belum datang juga jemputan. Padahal badan sudah serasa lengket karena keringat kering di badan, letih, bosan, dan merasa tidak enak sama si empunya warung karena kelamaan di situ. Akhirnya buka pembicaraan dengan pemilik warung itu. Intinya, bagaimana cara agar kami bisa cepat sampai di rumah si sobat biar segera bisa istirahat. Ah, langsung ke rumahnya saja, setidaknya sampai di sana bisa tidur-tiduran di teras rumah kontrakannya.
“Mbak, kalau mau ke Bonbin (Kebun Binatang Gembira Loka) naik apa ya?”
“Naik ojek bisa, naik taksi juga bisa Mas,” jawab si Mbak yang lagi-lagi dengan keramahan khas Jogja.
“Jauh tidak Mbak dari sini?”
“Nggak Mas, deket koq, cuma 2 kilo (kilometer) ke arah selatan.”
Hmm…2 kilo. Ok! Gak perlu ojek-ojekan, apalagi taksi kalau cuma sejauh itu. Pasti bisa saya tempuh dengan berjalan kaki saja. Karena saya sudah sangat mumpuni untuk berjalan kaki kalau hanya sejauh itu, bahkan tak jarang jarak yang lebih jauh dari itu saya masih saja enjoy berjalan kaki.
 Setelah kopi gelas kedua itu tinggal serbuknya sebelum kopi gelas ketiga dipesan, si sobat pun akhirnya muncul. Selamat! Tidak pakai basa-basi lagi, bayar billing di warung, panggil taksi. Berangkat!
Badan sudah tidak mau kompromi lagi. Laju taksinya tidak terlalu lama, tidak ada macet, tapi kok tidak sampai-sampai ke tujuan.
“Mas Bonbinnya masih jauh?”
“Nggak Mas, dekat lagi.”
Kalau saya tidak salah mengukur jarak, mungkin perjalanannya sudah lebih dari 2 kilo. Padahal saat si Mbak warung itu bilang cuma 2 kilo, saya sudah nekat saja mau jalan kaki. Wah…kalau jadi jalan kaki pasti sudah gempor. Apa si Mbak tidak tahu Bonbin? Nggak mungkin, dia orang Jogja. Atau, dia cuma menyemangati kami saja, dengan berkata jarak yang akan kami tempuh dekat, karena memang terlihat kami sudah begitu letih? Sudahlah!
Hari kedua! Saatnya jalankan misi, hunting mobil Taft Badak keluaran tahun 80, yang orang Jogja nyebutnya Taft Tuyul atau Taft Koramil. Tempat jual-beli mobil di depan TVRI Jogja jadi tujuan utama. Seolah tak salah alamat, nemu aja tuh mobil di situ. Transaksi dimulai. Tawar sana-tawar sini. Lihat sana-lihat sini. Meleng sebentar, mobil lenyap dibeli orang lain. Padahal teman saya yang mau beli sudah klop sama mobilnya. Yang tersisa ada, tapi tidak sesuai selera. Gatot! (gagal total).
Hari ketiga! Saatnya mengobok-obok Kota Jogja untuk mencari mobil yang sama. Jangan sampai misi gagal. Jalan ke sana-ke mari. Tanya sana-sini satu harian tanpa kenal lelah. Karena sudah ngenes mobil pertama keduluan dibeli orang lain, ‘semangat 45’ pun timbul. Jangan sampai ditikung orang lain lagi kalau ketemu mobil yang sesuai. Akhirnya ketemu juga. Check sana-sini. Ok! Langsung tangkap. Bayar DP. Misi terlaksana.
Hari keempat! Saatnya menyelesaikan misi. Check fisik mobil ke kantor polisi, urus surat-surat dan tetek-bengeknya. Melunasi pembayaran. Pulang! Ada yang menarik di sini sesuai dengan judul di atas, “Tidak Ada yang Jauh di Jogja”, saat kami akan melakukan check fisik ke kantor polisi. Berangkat dari Bonbin ke Polres Bantul. Saya tidak tahu pasti jaraknya, tapi saat saya tanya ke si Mas yang menjadi kurir di dealer tempat kami membeli mobil itu, berapa jauh dari Bonbin ke Polres Bantul, dia bilang dekat. Ok! Jalan.
Mana mobil tua, sudah tentu tidak menemukan kenyamanan di sana-sininya. Sepanjang jalan, setiap kali saya tanya, masih jauh, jawaban si Mas selalu sama, dekat lagi. Lama-lama si Mas sudah seperti mesin penjawab setiap kali mau ngisi ulang pulsa. Yang disebut itu-itu melulu. Bosan! Bahkan pemandangan indah Jogja sudah tidak bisa dipakai untuk membohongi bokong saya yang hampir lecet karena jok mobil tua itu, atau karena jaraknya yang kejauhan. 
Begitu melihat halaman Kantor Polres Bantul, saya sudah seperti melihat pemandangan yang lebih indah dari pemandangan selama perjalanan tadi. Lega! Akhirnya sampai juga. Harapan bisa istirahat lama di kantor polisi pupus. Ternyata urusan untuk check fisik hanya 1/10 dari waktu perjalanan tadi. Si Mas yang mengantar kami ternyata sangat pintar membaca situasi. Saat melihat kami yang sudah borring, dia bisa menghibur. Sepanjang perjalanan pulang, tak henti-henti mulutnya nyerocos terus. Dari masalah-masalah sepele sampai ke masalah selangkangan dia omongi. Jantan mana yang tidak gayung bersambut ketika membicarakan selangkangan. Karena asyiknya ngobrol, perjalanan pulang jadi tidak terasa menyiksa, bahkan ingin jalan lebih jauh, biar bisa ngobrol terus. Tapi dari obrolan yang banyak itu, tetap saja ketika ditanya jarak, selalu si Mas jawab dekat.
“Mas, Borobudur jauh nggak.”
“Dekat.”
“Mas, Parang Tritis jauh nggak.”
“Dekat.”
“Mas, ini jauh nggak, itu jauh nggak.”
“Dekat.”
Dasar si Mas, yang kemudian saya juluki Mas Dekat. Karena selalu bilang dekat ketika saya tanya jauh atau tidak. Sampai juga dengan selamat, sehat wal’afiat ke Bonbin lagi. Bayar lunas mobil. Terima surat-surat mobil dan kwitansi pembayaran. Urusan selesai. Misi Selesai.
Sekarang tinggal menghabiskan sisa waktu di Jogja yang tersisa beberapa jam lagi sebelum besoknya kami akan pulang ke kampung halaman. Sebenarnya masih begitu banyak tempat-tempat favorit di Jogja yang bisa dikunjungi, tapi dengan waktu yang mepet itu, tidak bisa memberikan pilihan lain selain Malioboro dan Alun-Alun Selatan. Karena hanya tempat itu yang terjangkau dengan sisa waktu yang ada. Sore berburu souvenir-souvenir unik dan Dagadu yang sangat lekat dengan Jogja, tapi sayang, Dagadu kebanyakan sudah dipalsukan lalu kemudian dijual sangat sembrono di Malioboro. Malam dihabiskan untuk mematahkan mitos pohon beringin kembar di depan Alun-Alun Selatan. Katanya, bila kita berhasil melewati pohon kembar itu maka semua keinginan kita terkabulkan. Dengan syarat, mata kita harus ditutup dengan sapu tangan atau penutup mata yang ada disewakan oleh Mas-Mas di sekitar Alun-Alun Selatan itu. 
Sebelum memulai langkah pertama, badan kita harus diputar-putar terlebih dahulu sebanyak hitungan ganjil. Eit, setelah badan kita diputar jangan lupa komat-kamit memohon permintaan kita, walau kepala sedikit pusing. Bolak-balik. Bolak-balik, sudah seperti setrikaan saja, tidak berhasil-berhasil juga, tapi setidaknya saya tidak sendirian, banyak orang yang gagal melewatinya. Tapi  saya tidak kecewa karenanya, sebab saya tidak percaya dengan mitos itu, hanya ikut-ikut meramaikan suasana malam di Alun-Alun Selatan saja. 
Berjam-jam menghabiskan waktu di situ, tapi masih ada saja saya lihat orang-orang yang terus penasaran bisa melewati pohon itu. Geblek! Akhirnya jadi tontonan saya saja sembari nikmati wedang jahe yang banyak dijual pedagang di sekitar situ. Tapi rasa penasaran saya masih ada saja tentang mitos pohon beringin kembar itu, akhirnya coba-coba saya tanya. Ketemunya bapak-bapak penjaga parkir, ya sudah, saya tanya saja. Basa-basi terlebih dahulu, baru to the point. Intinya, pada jaman bauhela, Sri Sultan Hamengku Buwono untuk menyeleksi calon prajuritnya menggunakan cara seperti itu. Setiap calon prajurit keraton, diwajibkan terlebih dahulu melewati pohon beringin kembar tersebut dengan mata tertutup, sebagai ujian dan syarat diterima atau tidaknya menjadi prajurit keraton. Cara itu melambangkan kebersihan dan kelurusan hati setiap calon prajurit keraton. Bila ia berhasil melewatinya berarti hatinya lurus dan bersih, bila tidak berarti hatinya bengkok, atau ada kemungkinan ia nantinya bakal mengkhianati keraton. Setidaknya itu penjelasan dari bapak penjaga parkir itu, terlepas benar atau tidaknya aku tidak tahu pasti. 
Omongan tidak cukup di situ, banyak bahan pembicaraan saya dengan bapak penjaga parkir malam itu. Tapi saya terkejut, karena ketika obrolan kami sempat menyenggol pantai selatan, saya sontak bertanya, pantai selatan jauh tidak pak dari sini, si bapak menjawab dekat. Saya hanya bisa bergumam dalam hati “Apa tidak ada yang jauh di Jogja?.”
Hari kelima! Saatnya pulang. Hanya bermodal nekat dan petunjuk nama-nama kota yang akan kami lewati, saya dan teman-teman pun pulang. Bingung! Tentu saja, karena kami tidak ada yang tahu atau setidaknya pernah membawa kendaraan sendiri dari Jogja ke Medan. Tanya sana-sini pun terjadi. Masih di sekitar Jogja saya bertanya jalan mau menuju ke Wates. Kali ini, pilihan saya bertanya jatuh kepada seorang pria paruh baya, pedagang rokok yang rokoknya terlebih dahulu saya beli. Dia menunjukkan arah yang harus kami tuju dengan ramahnya. Tapi tetap tidak lupa saya tanya, "Apa Wates masih jauh Mas?. Pasti sudah bisa ditebak jawabannya, "Dekat kok". Padahal saya sudah tahu dia bakal menjawab dekat, tapi tetap saja saya tanya, hanya untuk memastikan bahwa “tidak ada yang jauh di Jogja.”


     Kenapa tidak ada yang jauh di Jogja? Kenapa orang Jogja selalu berkata dekat? Apa orang di Jogja tidak ada yang tahu menghitung jarak? Apa orang di Jogja selalu berbohong dengan mengatakan dekat tetapi sebenarnya jauh? Itulah Jogja. Kota dengan orang-orang yang memiliki semangat dekat. Dekat dengan jarak yang dituju. Dekat dengan rasa persaudaraan. Dekat dengan tujuan pencapaian, bahkan dekat dengan Sang Khalik.
     Kita pasti akan semangat bila merasa jarak yang kita tempuh dekat. Kita pasti akan giat kalau merasa keberhasilan sudah dekat. Dan kita pasti akan segera bertobat dan banyak melakukan kebaikan bila mengetahui kematian kita sudah dekat. Semangat dekat yang sangat layak saya teladani. Bukan semangat jauh saya selama ini. Merasa jarak yang akan saya tempuh jauh, saya jadi malas untuk menempuhnya, bahkan tidak mau saya tempuh, sekalipun itu untuk menjaga silaturahim. Merasa jauh dengan keluarga, jadi saya rasa tidak ada lagi yang perlu dibagi dengan mereka. Merasa jauh dengan keberhasilan, saya jadi tidak pernah giat dan serius dalam bekerja. Merasa jauh dengan kematian, jadi saya selalu menunda-nunda ibadah dan kebanyakan menuruti nafsuku saja. Merasa setiap orang yang bertanya pada saya bukan siapa-siapa maka dengan cepat mulut saya menjawab tidak tahu. Atau bila ada teman ataupun saudara yang minta diantarkan ke suatu tempat saya pasti menjawab; “Gila! Tempatnya jauh banget itu. Nggak sempat ngantarnya. Yang pasti seribu satu macam alasan untuk menghindar akan keluar dari mulut saya.
Ya, itulah semangat jauh saya, bukan seperti semangat dekat orang-orang Jogja. Orang-orang Jogja yang selalu menjawab tanya saya dengan ramah seolah saya adalah saudaranya sendiri. Orang-orang Jojga yang selalu meluangkan waktu mengantar saya ke tujuan seolah saya adalah dulur mereka yang jangan sampai kesasar di Jogja. Orang-orang Jogja yang selalu merasa dekat dengan keberhasilan sehingga selalu bekerja dengan penuh semangat dan sukacita. Orang-orang Jogja yang selalu merasa dekat dengan kematian, sehingga selalu mendekatkan diri dengan Sang Khalik.