Header Arif

Header Arif

Rabu, 23 November 2011

Tahun Ini Mudik ke Mana Lagi Ya?


Mudik, bagi saya sebuah pengalaman perjalanan baru dengan orang-orang baru yang akan saya kenal. Udik, orang tua, tabungan, dan hidup di perantauan, itulah Rukun Mudik, salah satunya tidak ada maka gugurlah mudik. Saya punya udik dan sedikit tabungan, juga sekarang hidup di perantauan, tapi sudah tidak punya orang tua, maka mudik saya batal. Itu mudik dan kegagalan mudik versi saya saja. Toh, selama merantau saya tetap mudik setiap tahunnya, tapi bukan mudik ke kampung halaman sendiri, melainkan ke kampung halaman siapa saja yang mengajak saya ikut mudik.
Dua tahun berturut-turut saya merayakan Lebaran di sebuah pesantren di Indramayu. Teman sekantor sayalah yang menyeret ke pesantren dengan bangunan masjidnya yang mencapai tujuh lantai itu. Saya tidak mau membahas banyak tentang pesantren tersebut maupun daerahnya, juga segala macam kegiatan saya selama di sana. Saya tidak mau berpolemik tentang eksistensi pesantren yang kontroversi itu. Kegiatan spritiual saya hanya melaksanakan sholat I’ed dengan ketidakkhusyukan, ceramahnya, kalaupun itu indoktrinasi pasti tidak mempan, karena saat mendengar khotbahnya saya tidak membuka jubah kesombongan. Sedangkan daerahnya, sudah cukuplah, mendengar namanya saja senyum cabul saya langsung mengembang, otak mesum saya langsung bereaksi, Indramayu…Oh Indramayu…


     Empat puluh delapan jam menjelang Hari Raya Idul Fitri 1429 H, giliran bibi saya yang menggiring saya ke kampung halaman suaminya di Sumatera Selatan. Perjalanan yang sudah beberapa kali pernah saya tempuh, tapi setidaknya pengalamannya pasti berbeda karena dalam suasana Lebaran. Kurang lebih tiga jam lagi di dalam kendaraan dari Jembatan Ampera menuju Desa Bumi Agung, kampung paman saya itu.
Saat Idul Fitri tiba pengunjung masjid membludak, surau tak sanggup menampung pengunjung, lapangan-lapangan dibanjiri orang-orang yang akan melaksanakan sholat I’ed, begitu juga sebuah musolah sederhana yang berjarak hanya beberapa langkah dari rumah saudaranya paman saya itu, tiba-tiba saja ramai dikunjungi orang. Yang tidak dapat tempat di dalam, menunggu di luar sambil berbincang-bincang dalam bahasa Komring. Aroma asap rokok yang belum pernah saya ketahui mereknya tersebut sudah kalah menyengatnya dengan aroma baju baru orang-orang di situ. Aromanya sama seperti baju baru saya yang belinya di Pasar Pagi di Toko Koh A Hui dan Cih Mei Mei. Untung motifnya tidak ada yang sama dengan baju saya, tapi tetap saja saya perhatikan terus orang-orang di sekitar, memastikan lagi kalau baju mereka tidak ada yang sama dengan baju saya.
Para bapak-bapak kebanyakan mengenakan baju kemeja muslim, bersarung, dan kopiah hitam, ada juga yang mengenakan batik, celana bahan dan kopiah. Kaum ibu dan para perempuan mengenakan mukenah putih, melambangkan kesucian. Senang melihatnya, seperti melihat kumpulan bidadari dari beberapa tingkatan surga. Anak muda yang di samping kanan saya mengenakan kemeja muslim dan celana jeans yang kepanjangan dan tidak memakai kopiah, cara berpakaian yang menyalahi sunnah. Di sampingnya, seorang pemuda mengenakan jeans hitam dan t-shirt hitam yang bergambar band Peter Pan, yang ini menyalahi cara berpakaian Death Metal sama sekali. Anak muda yang di sebelah kiri saya mengenakan celana bahan hitam, baju kemeja lengan panjang yang digulung bermotif kotak-kotak besar, mengenakan kopiah hitam dan rompi sweater ala Tukul, tingkahnya sama seperti saya, celingak-celinguk sana-sini memperhatikan semua orang, mudah-mudahan tidak ada yang berdandan serupa. Sedangkan saya, tidak usah diragukan lagi, bila Ivan Gunawan melihat saya, atas nama seluruh pengamat mode di dunia dia pasti akan mencerca, mengolok-olok bahkan mencaci-maki cara berpakaian saya, sehingga dia akan membuat saya trauma mengenakan pakaian apapun, rasanya lebih baik saya telanjang saja seumur hidup.


     Aneh, lucu serta noraknya cara berpakaian saya, membuat saya tidak sungkan-sungkan untuk menceburkan diri ke masyarakat setempat. Saya tidak peduli mereka menggunakan bahasa ibu, mereka tertawa, saya ikut juga tertawa. Karena begitu tidak mengertinya saya bahasa daerah mereka, saya jadi hanya seperti mendengar bunyi-bunyian saja dari mulut mereka. Mendengar obrolan demi obrolan itu, ingin rasanya saya belajar bahasa Komring. Tapi bahasa daerah saya sendiri saja saya tidak bisa, malah mau belajar bahasa daerah suku lain, nanti malah dibilang saya pengkhianat suku. Batalkan saja, lebih baik saya gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tempat-tempat umum.
Banyak manfaat mudik, banyak kearifan lokal di udik yang bisa diambil. Sayat telat mengetahuinya baru sekarang, karena mudik saat Idul Fitri adalah keinginan terbesar masa kecil saya yang tak pernah tercapai. Padahal menurut pikiran masa kecil saya, merayakan Lebaran di kampung halaman bersama kakek dan nenek dari ibu atau bapak saya adalah hal yang paling menyenangkan. Tapi sayang, sampai kakek dan nenek dari ibu ataupun bapak saya itu telah habis masa kontraknya di dunia, saya tidak pernah merasakan sekalipun merayakan hari raya dengan mereka, bahkan ketemu saja tidak pernah, apalagi bisa menerima ang pao dari mereka, mimpi saja saya tidak pernah ketemu mereka. Kampung halaman bapak saya di Seulimeum, Nanggroe Aceh Darussalam, di sanalah bersemayam kakek dan nenek dari bapak saya. Tidak kondusifnya daerah Serambi Mekah saat itulah alasan utama kenapa bapak saya tidak pernah mau mengajak  kami walau hanya sekadar memijakkan kaki di tanah kelahirannya. Tapi yang lebih pasti lagi adalah karena alasan klasik, tidak punya uang. 
Sedangkan kakek dan nenek dari ibu saya, sudah koit sebelum saya lahir, jadi ibu saya sudah tidak punya alasan kuat untuk mengajak kami berplesir ke tanah leluhurnya di Cirebon. Aceh masih menyimpan ketakutan dan rasa trauma untuk saya, sedangkan di Cirebon saya sudah kehilangan jejak. Jadi sampai sekarang saya tidak pernah memijakkan kaki di rumah kakek saya, juga tidak pernah berziarah ke makam keempat kakek dan nenek saya karena tidak mengetahuinya. Parahnya lagi, saya pun tidak mendapatkan kesempatan untuk menziarahi ibu dan bapak saya yang juga telah check out dari muka bumi ini karena digulung badai tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 lalu. Mayat mereka tidak pernah ditemukan.
Menghanyutkan diri ke dalam euforia Idul Fitrilah jalan untuk menghindar dari kesunyian diri di hari yang Fitrah, di hari yang katanya seperti terlahir kembali, di hari yang biasa saya jalani dengan saling bermaafan dan berkumpul bersama keluarga. Bagi yang mencari nafkah di rantau, mudik salah satu dari euforia itu. Ketika orang-orang perantauan sudah sibuk mau mudik, saya juga ikut sibuk mengikuti mereka, atau kalau ada yang mengajak saya selalu siap sedia, asal jangan ke Desa Teladan di kawasan Seulimum, Aceh, kampung halaman kakek saya, karena di sana yang saya ketahui dari beberapa orang yang bisa dipercaya, menjadi salah satu basis gerakan separatis, lebih baik saya ketemu dedemit, gendoruwo, pocong, kolor ijo, buto ijo dan variannya daripada ketemu pemuda-pemuda fanatik yang bersenjata.
Mudik menurut saya suatu perjalanan suci, karena pemudik berbekal hati yang tulus, menempuh jarak yang jauh dengan tujuan untuk meminta dan memberi maaf, menjaga tali silaturahim, melakukan ziarah kubur, berbagi rezeki dengan yang kurang mampu, dan banyak lagi kegiatan mudik yang bermanfaat. Tapi, bagi saya mudik salah satu kegiatan untuk memuaskan hobi; jalan-jalan. Sejak saya sudah dilepaskan orang tua untuk bepergian sendiri melakukan perjalanan antarkabupaten, sejak saat itulah saya jadi kecanduan melancong. Setiap ada liburan sekolah, selalu saya manfaatkan untuk berjalan-jalan. Sampai-sampai ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah bercita-cita ingin menjadi supir truk, agar bisa jalan jauh terus setiap hari. Keinginan saya untuk menjadi supir truk itu semakin besar ketika sering menyaksikan film BJ and The Bear yang ditayangkan di TVRI zaman dulu. Saya ingin menjadi supir truk sekaligus pembasmi kejahatan di daerah-daerah yang saya lalui. 
Banyak berjalan banyak dilihat, banyak dilihat banyak tahu, banyak tahu jadi serasa makin bego saja. Kata-kata saya ini boleh dibenarkan, boleh juga tidak. Jalan-jalan bagi saya bersentuhan langsung dengan alam, masyarakat, kebiasaan dan kekayaan lain yang dimiliki daerah tempat saya berkunjung. Semakin banyak tempat yang saya datangi, semakin banyak juga tempat lain yang ingin saya kunjungi. Semakin penasaran, semakin kagum, semakin ingin menyentuh langsung tempat-tempat ciptaan Tuhan. Kalau begitu boleh tidak saya bilang; jalan-jalan merupakan suatu bentuk meditasi terhadap Tuhan. Kalau boleh, mudik juga kan sama dengan jalan-jalan. Nah…Tahun ini aku mudik ke mana lagi ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar