Header Arif

Header Arif

Rabu, 23 November 2011

Tidak Ada yang Jauh di Jogja



     Bila saya bilang, saya turun di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, pasti dengan sangat gampang ditebak kereta api kelas apa yang saya tumpangi. Pastinya, kereta api kelas ekonomi, karena ketika kereta apinya melewati Stasiun Tugu, di mana kereta api kelas bisnis dan eksekutif berhenti, kereta ekonomi ngerem sedikit saja pun tidak, seolah-olah ada tulisan di Stasiun Tugu “Kereta Api Kelas Ekonomi Dilarang Berhenti”.
Kali kedua ke Jogja, masih tetap naik angkutan massal yang murah meriah, panas, sumpek, kotor dan lusuh itu, tapi tetap saja ramai penumpangnya, bahkan terkadang jumlah pedagang, pengamen dan pengemis yang ikut nebeng di dalam kereta, kalau dijubel-jubeli, maka banyaknya bisa satu gerbong kereta sendiri.
Yang namanya kelas ekonomi, sudah tentu jadwal sampainya pun tidak bisa diprediksi dengan tepat. Sobat yang akan menjemput di Jogja pun jadi ogah-ogahan.
“Kok tidak naik pesawat aja sih…”
“Sory ya, tadi kupikir kalian turun di Stasiun Tugu, jadi aku ke sana…”
Stasiun Tugu? Padahal sudah jelas-jelas dalam SMS saya bilang turun di Stasiun Lempuyangan. Mungkin sobat yang sudah lama tinggal di Jogja itu, tahu dengan pasti jadwal molornya kereta api ekonomi. Jadi, daripada dia menunggu kedatangan saya dan teman-teman yang tak pasti jamnya, kenapa tidak kami saja yang dibuatnya menunggu. Dasar!
“Ok! Kita nunggunya di luar stasiun aja. Minum kopi atau teh sambil nikmati suasana Jogja,” tukas saya menyemangati teman-teman seperjuanganku ketika kami memijakkan kaki di tanah Sri Sultan.
Sudah lumrah, setiap beberapa langkah menuju pintu keluar stasiun di mana pun, pasti ada saja yang menyambut dengan hangat, siapa lagi kalau bukan tukang ojek dan supir taksi. Keramahannya pun tergantung kota tujuan, tetapi di Jogja boleh dibilang sangat ramah.
“Mau ke mana Mas?,” sambut tukang ojek dengan ramah.
“Mau di antar ke mana Mas?,” timpal supir taksi lagi tak mau kalah ramah.
“Gak Mas, nunggu dijemput teman,” kata teman saya.
Selesai!
Tidak ada pakai diikuti terus, tidak ada acara paksa-paksaan.
“I Love Jogja,” kata teman saya tiba-tiba dengan logat Bataknya.
Bagaimana tidak teman saya itu tiba-tiba sanggup mengucapkan kata itu. Mungkin karena kaget melihat keramahan dan ketenangan stasiun di Jogja lalu begitu saja kata-kata itu keluar. Karena kami acap kali ‘perang mulut’ atau bahkan sikut-sikutan dengan calo setiap berada di stasiun, terminal, pelabuhan maupun bandara di Kota Medan.
Sebuah warung di depan Stasiun Lempuyangan kemudian kami jadikan tempat mengaso sambil menunggu jemputan. Tidak pakai baca-baca buku menu segala yang memang tidak ada di warung itu, langsung pesan apa yang ada saja, bukan apa yang selera, karena perut sudah keroncongan dan kerongkongan sudah kering kerontang. Masing-masing sepiring nasi soto dan segelas teh manis. Segelas kopi jadi minuman ronde kedua. Sudah berbatang-batang rokok terhisap, si sobat belum muncul juga. Ngobrol ngalor-ngidul yang bisa kami lakukan sambil menunggu si sobat. Kopi ditambah, rokok pun dibeli lagi, tapi belum datang juga jemputan. Padahal badan sudah serasa lengket karena keringat kering di badan, letih, bosan, dan merasa tidak enak sama si empunya warung karena kelamaan di situ. Akhirnya buka pembicaraan dengan pemilik warung itu. Intinya, bagaimana cara agar kami bisa cepat sampai di rumah si sobat biar segera bisa istirahat. Ah, langsung ke rumahnya saja, setidaknya sampai di sana bisa tidur-tiduran di teras rumah kontrakannya.
“Mbak, kalau mau ke Bonbin (Kebun Binatang Gembira Loka) naik apa ya?”
“Naik ojek bisa, naik taksi juga bisa Mas,” jawab si Mbak yang lagi-lagi dengan keramahan khas Jogja.
“Jauh tidak Mbak dari sini?”
“Nggak Mas, deket koq, cuma 2 kilo (kilometer) ke arah selatan.”
Hmm…2 kilo. Ok! Gak perlu ojek-ojekan, apalagi taksi kalau cuma sejauh itu. Pasti bisa saya tempuh dengan berjalan kaki saja. Karena saya sudah sangat mumpuni untuk berjalan kaki kalau hanya sejauh itu, bahkan tak jarang jarak yang lebih jauh dari itu saya masih saja enjoy berjalan kaki.
 Setelah kopi gelas kedua itu tinggal serbuknya sebelum kopi gelas ketiga dipesan, si sobat pun akhirnya muncul. Selamat! Tidak pakai basa-basi lagi, bayar billing di warung, panggil taksi. Berangkat!
Badan sudah tidak mau kompromi lagi. Laju taksinya tidak terlalu lama, tidak ada macet, tapi kok tidak sampai-sampai ke tujuan.
“Mas Bonbinnya masih jauh?”
“Nggak Mas, dekat lagi.”
Kalau saya tidak salah mengukur jarak, mungkin perjalanannya sudah lebih dari 2 kilo. Padahal saat si Mbak warung itu bilang cuma 2 kilo, saya sudah nekat saja mau jalan kaki. Wah…kalau jadi jalan kaki pasti sudah gempor. Apa si Mbak tidak tahu Bonbin? Nggak mungkin, dia orang Jogja. Atau, dia cuma menyemangati kami saja, dengan berkata jarak yang akan kami tempuh dekat, karena memang terlihat kami sudah begitu letih? Sudahlah!
Hari kedua! Saatnya jalankan misi, hunting mobil Taft Badak keluaran tahun 80, yang orang Jogja nyebutnya Taft Tuyul atau Taft Koramil. Tempat jual-beli mobil di depan TVRI Jogja jadi tujuan utama. Seolah tak salah alamat, nemu aja tuh mobil di situ. Transaksi dimulai. Tawar sana-tawar sini. Lihat sana-lihat sini. Meleng sebentar, mobil lenyap dibeli orang lain. Padahal teman saya yang mau beli sudah klop sama mobilnya. Yang tersisa ada, tapi tidak sesuai selera. Gatot! (gagal total).
Hari ketiga! Saatnya mengobok-obok Kota Jogja untuk mencari mobil yang sama. Jangan sampai misi gagal. Jalan ke sana-ke mari. Tanya sana-sini satu harian tanpa kenal lelah. Karena sudah ngenes mobil pertama keduluan dibeli orang lain, ‘semangat 45’ pun timbul. Jangan sampai ditikung orang lain lagi kalau ketemu mobil yang sesuai. Akhirnya ketemu juga. Check sana-sini. Ok! Langsung tangkap. Bayar DP. Misi terlaksana.
Hari keempat! Saatnya menyelesaikan misi. Check fisik mobil ke kantor polisi, urus surat-surat dan tetek-bengeknya. Melunasi pembayaran. Pulang! Ada yang menarik di sini sesuai dengan judul di atas, “Tidak Ada yang Jauh di Jogja”, saat kami akan melakukan check fisik ke kantor polisi. Berangkat dari Bonbin ke Polres Bantul. Saya tidak tahu pasti jaraknya, tapi saat saya tanya ke si Mas yang menjadi kurir di dealer tempat kami membeli mobil itu, berapa jauh dari Bonbin ke Polres Bantul, dia bilang dekat. Ok! Jalan.
Mana mobil tua, sudah tentu tidak menemukan kenyamanan di sana-sininya. Sepanjang jalan, setiap kali saya tanya, masih jauh, jawaban si Mas selalu sama, dekat lagi. Lama-lama si Mas sudah seperti mesin penjawab setiap kali mau ngisi ulang pulsa. Yang disebut itu-itu melulu. Bosan! Bahkan pemandangan indah Jogja sudah tidak bisa dipakai untuk membohongi bokong saya yang hampir lecet karena jok mobil tua itu, atau karena jaraknya yang kejauhan. 
Begitu melihat halaman Kantor Polres Bantul, saya sudah seperti melihat pemandangan yang lebih indah dari pemandangan selama perjalanan tadi. Lega! Akhirnya sampai juga. Harapan bisa istirahat lama di kantor polisi pupus. Ternyata urusan untuk check fisik hanya 1/10 dari waktu perjalanan tadi. Si Mas yang mengantar kami ternyata sangat pintar membaca situasi. Saat melihat kami yang sudah borring, dia bisa menghibur. Sepanjang perjalanan pulang, tak henti-henti mulutnya nyerocos terus. Dari masalah-masalah sepele sampai ke masalah selangkangan dia omongi. Jantan mana yang tidak gayung bersambut ketika membicarakan selangkangan. Karena asyiknya ngobrol, perjalanan pulang jadi tidak terasa menyiksa, bahkan ingin jalan lebih jauh, biar bisa ngobrol terus. Tapi dari obrolan yang banyak itu, tetap saja ketika ditanya jarak, selalu si Mas jawab dekat.
“Mas, Borobudur jauh nggak.”
“Dekat.”
“Mas, Parang Tritis jauh nggak.”
“Dekat.”
“Mas, ini jauh nggak, itu jauh nggak.”
“Dekat.”
Dasar si Mas, yang kemudian saya juluki Mas Dekat. Karena selalu bilang dekat ketika saya tanya jauh atau tidak. Sampai juga dengan selamat, sehat wal’afiat ke Bonbin lagi. Bayar lunas mobil. Terima surat-surat mobil dan kwitansi pembayaran. Urusan selesai. Misi Selesai.
Sekarang tinggal menghabiskan sisa waktu di Jogja yang tersisa beberapa jam lagi sebelum besoknya kami akan pulang ke kampung halaman. Sebenarnya masih begitu banyak tempat-tempat favorit di Jogja yang bisa dikunjungi, tapi dengan waktu yang mepet itu, tidak bisa memberikan pilihan lain selain Malioboro dan Alun-Alun Selatan. Karena hanya tempat itu yang terjangkau dengan sisa waktu yang ada. Sore berburu souvenir-souvenir unik dan Dagadu yang sangat lekat dengan Jogja, tapi sayang, Dagadu kebanyakan sudah dipalsukan lalu kemudian dijual sangat sembrono di Malioboro. Malam dihabiskan untuk mematahkan mitos pohon beringin kembar di depan Alun-Alun Selatan. Katanya, bila kita berhasil melewati pohon kembar itu maka semua keinginan kita terkabulkan. Dengan syarat, mata kita harus ditutup dengan sapu tangan atau penutup mata yang ada disewakan oleh Mas-Mas di sekitar Alun-Alun Selatan itu. 
Sebelum memulai langkah pertama, badan kita harus diputar-putar terlebih dahulu sebanyak hitungan ganjil. Eit, setelah badan kita diputar jangan lupa komat-kamit memohon permintaan kita, walau kepala sedikit pusing. Bolak-balik. Bolak-balik, sudah seperti setrikaan saja, tidak berhasil-berhasil juga, tapi setidaknya saya tidak sendirian, banyak orang yang gagal melewatinya. Tapi  saya tidak kecewa karenanya, sebab saya tidak percaya dengan mitos itu, hanya ikut-ikut meramaikan suasana malam di Alun-Alun Selatan saja. 
Berjam-jam menghabiskan waktu di situ, tapi masih ada saja saya lihat orang-orang yang terus penasaran bisa melewati pohon itu. Geblek! Akhirnya jadi tontonan saya saja sembari nikmati wedang jahe yang banyak dijual pedagang di sekitar situ. Tapi rasa penasaran saya masih ada saja tentang mitos pohon beringin kembar itu, akhirnya coba-coba saya tanya. Ketemunya bapak-bapak penjaga parkir, ya sudah, saya tanya saja. Basa-basi terlebih dahulu, baru to the point. Intinya, pada jaman bauhela, Sri Sultan Hamengku Buwono untuk menyeleksi calon prajuritnya menggunakan cara seperti itu. Setiap calon prajurit keraton, diwajibkan terlebih dahulu melewati pohon beringin kembar tersebut dengan mata tertutup, sebagai ujian dan syarat diterima atau tidaknya menjadi prajurit keraton. Cara itu melambangkan kebersihan dan kelurusan hati setiap calon prajurit keraton. Bila ia berhasil melewatinya berarti hatinya lurus dan bersih, bila tidak berarti hatinya bengkok, atau ada kemungkinan ia nantinya bakal mengkhianati keraton. Setidaknya itu penjelasan dari bapak penjaga parkir itu, terlepas benar atau tidaknya aku tidak tahu pasti. 
Omongan tidak cukup di situ, banyak bahan pembicaraan saya dengan bapak penjaga parkir malam itu. Tapi saya terkejut, karena ketika obrolan kami sempat menyenggol pantai selatan, saya sontak bertanya, pantai selatan jauh tidak pak dari sini, si bapak menjawab dekat. Saya hanya bisa bergumam dalam hati “Apa tidak ada yang jauh di Jogja?.”
Hari kelima! Saatnya pulang. Hanya bermodal nekat dan petunjuk nama-nama kota yang akan kami lewati, saya dan teman-teman pun pulang. Bingung! Tentu saja, karena kami tidak ada yang tahu atau setidaknya pernah membawa kendaraan sendiri dari Jogja ke Medan. Tanya sana-sini pun terjadi. Masih di sekitar Jogja saya bertanya jalan mau menuju ke Wates. Kali ini, pilihan saya bertanya jatuh kepada seorang pria paruh baya, pedagang rokok yang rokoknya terlebih dahulu saya beli. Dia menunjukkan arah yang harus kami tuju dengan ramahnya. Tapi tetap tidak lupa saya tanya, "Apa Wates masih jauh Mas?. Pasti sudah bisa ditebak jawabannya, "Dekat kok". Padahal saya sudah tahu dia bakal menjawab dekat, tapi tetap saja saya tanya, hanya untuk memastikan bahwa “tidak ada yang jauh di Jogja.”


     Kenapa tidak ada yang jauh di Jogja? Kenapa orang Jogja selalu berkata dekat? Apa orang di Jogja tidak ada yang tahu menghitung jarak? Apa orang di Jogja selalu berbohong dengan mengatakan dekat tetapi sebenarnya jauh? Itulah Jogja. Kota dengan orang-orang yang memiliki semangat dekat. Dekat dengan jarak yang dituju. Dekat dengan rasa persaudaraan. Dekat dengan tujuan pencapaian, bahkan dekat dengan Sang Khalik.
     Kita pasti akan semangat bila merasa jarak yang kita tempuh dekat. Kita pasti akan giat kalau merasa keberhasilan sudah dekat. Dan kita pasti akan segera bertobat dan banyak melakukan kebaikan bila mengetahui kematian kita sudah dekat. Semangat dekat yang sangat layak saya teladani. Bukan semangat jauh saya selama ini. Merasa jarak yang akan saya tempuh jauh, saya jadi malas untuk menempuhnya, bahkan tidak mau saya tempuh, sekalipun itu untuk menjaga silaturahim. Merasa jauh dengan keluarga, jadi saya rasa tidak ada lagi yang perlu dibagi dengan mereka. Merasa jauh dengan keberhasilan, saya jadi tidak pernah giat dan serius dalam bekerja. Merasa jauh dengan kematian, jadi saya selalu menunda-nunda ibadah dan kebanyakan menuruti nafsuku saja. Merasa setiap orang yang bertanya pada saya bukan siapa-siapa maka dengan cepat mulut saya menjawab tidak tahu. Atau bila ada teman ataupun saudara yang minta diantarkan ke suatu tempat saya pasti menjawab; “Gila! Tempatnya jauh banget itu. Nggak sempat ngantarnya. Yang pasti seribu satu macam alasan untuk menghindar akan keluar dari mulut saya.
Ya, itulah semangat jauh saya, bukan seperti semangat dekat orang-orang Jogja. Orang-orang Jogja yang selalu menjawab tanya saya dengan ramah seolah saya adalah saudaranya sendiri. Orang-orang Jojga yang selalu meluangkan waktu mengantar saya ke tujuan seolah saya adalah dulur mereka yang jangan sampai kesasar di Jogja. Orang-orang Jogja yang selalu merasa dekat dengan keberhasilan sehingga selalu bekerja dengan penuh semangat dan sukacita. Orang-orang Jogja yang selalu merasa dekat dengan kematian, sehingga selalu mendekatkan diri dengan Sang Khalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar