Lahir dan besar di Indonesia bukan sebuah garansi untuk kita bisa
memahami Indonesia dengan akurat, karena Indonesia merupakan kekayaan yang tak
ternilai. Di Tanah Air ini berbaur beragam suku, agama dan budaya, ditambah
lagi alamnya. Memang, memahami Indonesia
tak cukup hanya dengan beberapa faktor yang telah disebut di atas, banyak hal
lain yang bisa dijadikan faktor pendukung untuk bisa mengerti Indonesia.
Banyak cara yang dilakukan untuk mengajak lebih dekat mengenal negeri
ini, apalagi di zaman serba canggih seperti sekarang, bahkan, masing-masing
dari kita bisa menjadi orang yang terdepan, tercepat dalam menginformasikan,
merekam dan menuliskan tentang Indonesia.
Kita bisa mengetahui permainan khas anak-anak di Pulau Sulawesi melalui program
TV misalnya, atau acara adat pernikahan Suku Dayak di Kalimantan melalui foto
teman kita di jejaring sosial. Begitu gampang sekarang menyaksikan Indonesia dari
tempat kita berpijak, tapi belum tentu kita diajak untuk mengenal lebih dekat
dengan manusianya.
Dalam Buku Artwork Suyadi Gambar
Dongeng, kita diajak memahami Indonesia dan manusianya melalui
goresan tangan Pak Raden, tokoh dalam serial Si Unyil. Di bab awal buku ini – Indonesian Children – terdapat sebuah
lukisan berdampingan sama sebuah sketsa dengan tema yang sama, mengejar
layangan. Ketika membuat tulisan ini, kebetulan di tempat tinggal saya – Medan
– sedang musim layangan, hampir setiap sore sepulang karja saya berkendara
dengan hati-hati, mewaspadai anak-anak yang sedang mengejar layangan dengan
sembrononya. Lukisan anak-anak mengejar layangan tersebut dibuat oleh Drs.
Suyadi pada tahun 1992. Layangan, sampai saat ini masih jadi mainan bagi anak Indonesia
di tengah merebaknya game online dan Playstation.
Bukan Adegan Dibuang Sayang
Masih di bab Indonesian Chlidren,
kita disuguhkan beberapa potongan karya yang menggambarkan seputaran kegiatan
anak Indonesia.
Di luar Unyil, Drs. Suyadi merupakan legenda dongeng Indonesia, di salah satu
lembaran buku ini, terpampang kegiatan pria kelahiran 28 November 1932 ini
sedang mendongeng lengkap dengan sketsa dongengnya. Sekilas, beberapa sketsa di
dalam bab ini seperti corat-coret yang terbuang lalu dipungut kembali. Bila
kita melihat sebuah karya yang sudah jadi, tentu akan menarik bagi kita mencari
tahu bagaimana proses sebuah karya itu dibuat sebelum akhirnya terpampang utuh.
Hal itulah yang disajikan dalam buku ini.
Merekam Manusia Indonesia dalam Coretan
Keseharian kita adalah hal yang begitu menarik untuk diperhatikan, kebiasaan,
perilaku dan perangai manusia di sekitar kita merupakan objek yang begitu
berharga. Tidak sedikit orang yang merekam kehidupan sehari-hari di sekitarnya
dengan video, foto, maupun tulisan yang diunggah di jejaring sosial, blog dan
media lainnya, bahkan sebuah televisi swasta di Tanah Air mewadahi para
‘penangkap’ kehidupan ini melalui program Citizen Journalist.
Beda manusia, beda pula cara merekam kehidupannya, Drs. Suyadi memilih
kertas ataupun kanvas untuk menuangkan bagian-bagian yang pernah dilalui dalam kehidupannya.
Apa yang pernah dilihat, dialami dan dirasakannya semua dicecahkan melalui goresan
tangannya. Bab kedua buku ini – Backstage
– dibuka dengan gambar antrian di depan kasir sebuah angkutan massal. Bagi Anda
yang pernah mencecap Ibukota Indonesia,
tentu pemandangan yang digambarkan oleh Drs. Suyadi bukan hal asing lagi,
kesemrawutan, ketidakpedulian tertangkap dalam beberapa sketsa di bab ini.
Bukan hanya menggambarkan Jakarta dan para
penghuninya, Pak Raden menangkap manusia Indonesia itu sendiri hingga beribu
kilo meter jauhnya dari Nusantara. Apa yang dituangkannya dalam beberapa sketsa
di bab ini, merupakan pengalaman Drs. Suyadi ketika menggali ilmu di Perancis.
Beberapa kelakuan manusia Indonesia
yang berada di negara kiblatnya mode dunia tersebut dituangkan dalam sketsa –
yang sebelumnya pernah dikemas dalam pameran tunggal Drs. Suyadi Noir et Blanc. Di salah satu sketsa
terlihat suasana di kawasan Montmarte ketika orang Indonesia meminta hidungnya dibuat
mancung dalam lukisan yang sedang dikerjakan oleh pelukis jalanan.
Realita-realita yang konyol bahkan vulgar dituangkan dengan cara yang jenaka oleh
Drs. Suyadi, sehingga tidak ada yang tak lolos sensor untuk disaksikan semua
umur.
Bagi Drs. Suyadi atau Pak Raden, Unyil seperti sebuah kutukan yang
melekat dalam dirinya, kita tentu susah melepaskan image Si Unyil dari sosok Pak Raden. Tokoh Unyil sempat berjaya di
tahun 80-an, bahkan hingga sekarang salah satu stasiun TV swasta masih
menayangkan Unyil dalam kemasan berbeda. Ironisnya, pembuat Si Unyil, Drs.
Suyadi, tidak merasakan manisnya royalty dari boneka terebut, Unyil telah
minggat dari sang creator-nya. Hak
ciptanya masih diperjuangkan hingga saat ini.
Lepaskan sejanak Drs. Suyadi dari Unyil, banyak dari kita yang tahu
bahkan pernah memakai buku "Bahasa Indonesia" ini Budi, dan Drs.
Suyadi adalah seniman yang membuat sampul buku dan ilustrasi yang ada di dalam
buku tersebut, dan sekaligus seniman pertama yang mampu menggambarkan Buto Ijo
yang "sedap" untuk anak-anak Indonesia.
Buku ini berbeda sedikit dari buku kumpulan kartun, atau komik maupun
kumpulan poster. Artbook adalah kumpulan karya seni rupa (artwork) terseleksi oleh kurator. Jadi memang nyaris tanpa teks dan
entry keterangan. Perhatikan ada
sederet ilustrasi sampul buku serial cerita fantasi HC Anderesen (versi
Indonesia, Penerbit Djambatan 1983) karya Suyadi dalam buku ini, jelas terlihat
jejak Disney masuk dalam garis-garis gambar Suyadi. Hanya dengan sampul bukunya
kita dapat membayangkan rentetan cerita dalam ilustrasi isi bukunya. Semua
sampul ilustrasi tersebut dipajang di Museum HC Andersen di Denmark, tak banyak
yang tahu Drs. Suyadi cukup memberikan pengaruh di dunia ilustrasi buku anak.