Header Arif

Header Arif

Rabu, 23 November 2011

'Ngilu' di Penghujung Ramadhan


Hari-hari di penghujung ramadhan menjadi hari-hari yang paling menyusahkan hati saya. Di sini saya bukan sebagai orang taat beragama yang sedih meninggalkan bulan penuh rahmat ini  karena kegalauan akankah bertemu ramadhan lagi di tahun depan? tapi sebagai seorang yang sudah tidak memiliki keluarga yang utuh lagi, sehingga tidak tahu harus merayakan hari yang suci tersebut dengan siapa.
 Saya ingat Idul Fitri pertama saya tidak berkumpul dengan keluarga. Saat itu Idul Fitri 1425 H. Usai melakukan Sholat I’ed saya menghubungi orang tua saya yang berada di Banda Aceh. Terus terang, karena saat itu saya belum terbiasa jauh dari orang tua, apalagi di hari yang Fitri, di mana saya biasa sungkem kepada orang tua untuk meminta maaf, maka ketika itu saya menangis tersunguk-sunguk sambil meminta maaf lahir bathin kepada kedua orang tua saya. Tidak ada yang mengetahui rahasia Sang Khalik, ternyata itulah Idul Fitri terakhir saya memiliki orang tua, karena empat puluh dua hari setelah saya termehek-mehek itu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, saya resmi menjadi yatim piatu, keluarga saya tersapu gelombang tsunami dan mayatnya tidak pernah ditemukan. 


      Satu kehilangan akan menghasilkan satu kesedihan, saya menghitungnya seperti itu, meskipun saya tidak mengharamkan jika ada orang yang menghitung satu kehilangan akan menghasilkan seribu kesedihan. Kembali ke hitung-hitungan saya, enam orang yang begitu saya cintai hilang dalam bilangan detik, berarti saya memiliki enam kesedihan. Dan saya tidak tahu bagaimana harus menerimanya saat itu.
Setelah memiliki kehilangan itu, saya pernah merasakan asinnya air mata saya di mesjid sana-sini ketika mendengarkan takbir berkumandang, merasakan cemburunya melihat orang-orang berziarah kubur, juga merasakan pahitnya melihat orang-orang berkumpul bersama keluarganya di saat Idul Fitri. Itulah alasan kenapa saya membenci ketika aroma Lebaran sudah mulai tercium, karena saya takut hidup sendiri, tanpa ibu dan keluarga saya tentunya. Pernah di tengah kegamangan hidup sendiri, saya menanyakan ke beberapa orang, apakah saya pasti akan bertemu dengan keluarga saya lagi jika saya menyusul mereka? Sayang tidak ada orang yang bisa menjaminnya, dan karena alasan itu pula saya masih hidup sampai sekarang. 
Tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari kehilangan, termasuk saya. Tapi saya tidak mau intim dengan rasa kehilangan, walaupun bagi saya rasa kehilangan itu sudah seperti musim banjir di Jakarta yang datang setahun sekali. Maka, jadilah setiap memasuki Idul Fitri saya mulai kembali digenangi dengan rasa kehilangan, tapi justru dari sinilah saya mulai belajar untuk menerima kehilangan. 
Dengan rezeki yang saya terima, saya tidak bisa menghindari gema takbir dengan cara lari ke manapun di mana saya tidak akan mendengar suara takbir. Jadi saya tetap terpaksa mendengar takbir berkumandang dari mesjid-mesjid di Kota Medan, atau dari musolah-musolah di pinggiran Jakarta dan pedalaman Indramayu, bahkan dari surau-suaru di pelosok Palembang dan Aceh sekalipun. Dalam keadaan seperti inilah saya terlatih untuk menerima kehilangan, bukan menghindar dari kehilangan. Bahkan saya jadi bisa merasakan nikmatnya sebuah keikhlasan atas kehilangan. Saya merasa hidup saya jadi mempunyai arti untuk orang lain, walaupun melalui cerita sedih akan kehilangan.


      Kadang saya berpikir tentang apa yang terjadi dalam hidup saya ini seperti sudah di-design. Saya diberi cobaan dengan kehilangan enam anggota keluarga, tapi saya tetap diberi ketabahan yang luar biasa, saya diberi rezeki seadanya – tapi saya sangat mensyukuri – agar saya bisa ikhlas menerima kehilangan dan mau berbagi. Jika hidup saya by design, maka saya yakin designer saya adalah Tuhan, dan Dia tidak memberi sebuah cobaan yang saya tidak mampu menerimanya.
Setelah beberapa tahun saya merasakan hati saya ’ngilu’ saat malam di mana takbir berkumandang, akhirnya saya bisa kembali tersenyum setelah kehabisan alasan untuk bersedih.


2 komentar:

  1. gue juga belajar dari elu kok rif...
    waktu gw sedih kehilangan nyokap gw, gw inget sedih lu pasti lbh parah lagi.

    jd gw bertahan dan tawakal.

    thx :)

    BalasHapus
  2. iya mbak, sama-sama belajar, gue sering memikirkan setiap orang pasti akan kehilangan, apapun itu, tinggal menunggu waktu dan cara kehilangannya aja, tapi waktu gue ketimpa musibah tetap aja sedih.... :)

    BalasHapus