Header Arif

Header Arif

Rabu, 23 November 2011

Turis 'Asing' di Negeri Sendiri

Jalan menuju Kampung Rambutan masih lengang, waktu tempuh yang dibutuhkanpun hanya 20 menit dari kontrakan saya di Lenteng Agung. Tadinya saya beranjak dari kandang usai sholat Jum’at, tapi hingga jam 3 sore bus Jakarta–Bandung yang saya tumpangi masih saja mondar-mandir di sekitar Kampung Rambutan. Bersyukur kali ini bus yang saya tumpangi ber-AC, jadi saya tidak berpeluh ria lagi seperti biasa, karena biasanya saya selalu naik kendaraan umum yang kelas ekonomi.
Kawasan puncak Bogor dan Bandung pasti akan ramai yang menyambangi jika akhir pekan, mulai dari pejabat yang punya rumah cadangan di sana, pengusaha yang mau menghambur-hamburkan uang, eksekutif muda yang mencari kesenangan, pasangan  yang ingin memadu kasih, hingga turis gembel seperti saya. Gelombang ‘eksodus’ mingguan inilah penyebab utama volume kendaraan di jalan raya meningkat, akibat turunannya adalah kendaraan jadi merayap radius beberapa kilometer menuju gerbang tol, bahkan di jalan tol sekalipun.
Matahari hampir terbenam total ketika bus yang saya tumpangi sampai di Padalarang, penumpang banyak yang bergegas turun, saya masih santai menikmati pendingin di bus itu, maklum, jarang-jarang naik kendaraan ber-AC. Tiba-tiba si kernet bus berteriak, “Yang mau ke Bandung pindah ke bus belakang”. Saya yang sedari tadi coba melakoni orang kaya di dalam mobil berpendingin, jadi kaget bukan kepalang, ditambah sedikit kecewa sama si kondektur. Ternyata bukan hanya saya yang kecewa, ada 13 penumpang lain yang juga merasakannya. Kami, 14 penumpang dicampakkan sama si kernet ke bus lain yang menuju Terminal Leuwi Panjang.
Sudah gelap, tapi belum terlalu malam saat saya dalam angkutan kota tujuan Dago. Di persimpangan Jalan Raya Dago dan Jalan Surapati sebuah monitor raksasa berukuran kurang lebih 4 x 7 m menarik perhatian saya, bukan karena ukurannya yang besar, tapi karena iklan yang ditayangkan di monitor itu. Ada beberapa objek wisata alam Bandung yang dipromosikan di situ, seperti Tangkuban Perahu di Lembang, Situ Petanggeng di Ciwidey, Kebun Binatang, Bumi Perkemahan Ranca Upas, Curug Cimahi, Taman Hutan Raya Dago, dan Kawah Putih Ciwidey. Saya malas menghitung sudah berapa kali ke Bandung, tapi tempat-tempat tersebut belum pernah saya samperi. Setibanya di kontrakan teman saya pun, saya masih saja terus dibuat penasaran dengan tempat-tempat wisata tadi, tapi saya musti istirahat dulu malam itu, mungkin besoknya  saya bisa mengunjungi tempat-tempat wisata alam tersebut.


“Apa sih yang mau kau lihat di sana, nggak ada apa-apa di sana, tempatnya juga kotor, lagian ke sana itu jauh”.
Kalimat tersebut di atas terlontar begitu saja dari mulut teman saya ketika saya membujuknya untuk mengunjungi Kawah Putih Ciwidey. Akhirnya, saya hanya bisa pasrah karena hari itu tidak dapat berplesiran ke tempat wisata tersebut. Masih ada hari esok, untuk hari ini lakukan saja apa yang bisa dilakukan. Baiklah, tapi, kalau bisa dilakukan hari ini, kenapa menunggu esok hari. Ah sudahlah, memberontak agar dapat pergi ke tempat wisata itu pun tidak ada artinya, pasti teman saya juga tidak akan mau berangkat, saya harus bisa menerima ABCD (Anak Bandung Cinta Damai), akhirnya saya berdamai saja dengan teman tersebut Jadilah hari itu kami hanya berkelana ria mengelilingi Bandung bagian kotanya saja, keluar-masuk mall dan distro hanya untuk cuci mata saja tanpa belanja, mengelilingi beberapa kafe dan tempat-tempat jajanan anak muda, namun akhirnya cuma mampu berlabuh di sebuah warung tenda sepi di pinggiran jalan. Pilihan saya dan teman saya jatuh ke warung itu karena kami memiliki keyakinan yang sama tentang warung tersebut, yaitu “harga makanan di situ pasti murah”. 
Banyak hal-hal yang tidak penting kami bicarakan di warung itu, karena kalau obrolan penting, seperti bisnis dan memikat lawan jenis misalnya, pasti akan mengambil tempat di kafe-kafe bermerek luar negeri, atau setidaknya yang daftar harganya mahal sekali, agar dapat meyakinkan orang yang kita ajak bicara. Karena saya dan teman saya sudah saling mengetahui keadaan ekonomi kami masing-masing, maka tempat makan murah itu sangat nyaman bagi kami, lumayan lama kami di situ cuma ngobrol ngalor-ngidul, karena memang tempatnya benar-benar nyaman dan sejuk, sebab di sekitar warung tenda itu masih banyak pohon-pohon yang batangnya seukuran tiga pinggang orang dewasa. Pohon jenis Mahoni berusia puluhan tahun, yang jika salah satu pohon itu rubuh maka kami semua yang tertimpa akan mati, tapi besoknya kabar kematian kami tidak langsung menjadi headline di beberapa media cetak maupun elektronik, karena berita kematian akibat tertimpa pohon kalah seksi dibanding berita wanita cantik yang teraniaya di negeri jiran. 


    Bandung Lautan Api sebutan lawas untuk kota tersebut. Di era millennium, karena satu peristiwa ‘esek-esek’ yang menggemparkan, dan entah siapa yang memulai, kota ini kemudian sempat dijuluki Bandung Lautan Asmara, karena nila setitik rusak susu sebelanga istilah pepatah. Yang teranyar, tapi sebenarnya tidak terlalu anyar-anyar sekali karena geliatnya sudah terasa sebelum reformasi, kota ini lebih santer disebut Bandung Lautan Distro. Penamaan yang belakangan ini, seolah Bandung yang mendapat predikat Paris van Java oleh kumpeni, terseret kekinian Kota Paris sebagai kiblatnya mode dunia. Dapat dikatakan bahwa Bandung sekarang menjadi barometer tersendiri ketika berbicara mengenai fashion as personal statement
Distro yang telah beranak-pinak di Bandung menjadi surga tersendiri bagi para penggila belanja dan mode serta orang-orang yang punya kepentingan dengan penampilan. Konsentrasi sebagian besar pengunjung yang berbondong-bondong ke Bandung pun kini telah tertuju hanya pada pusat-pusat belanja tersebut, tidak ke wisata alamnya. Di masa-masa seperti ini, jika pun Anda berhasil memijakkan kaki di tempat-tempat wisata yang telah saya sebutkan tadi di atas, maka itu tidak cukup kuat untuk mensahkan Anda telah ke Bandung. Anda baru bisa dibilang telah sah ke Bandung jika sudah mengunjungi Jalan Riau, Jalan Aceh, atau tempat-tempat lain di mana distro-distro itu bercokol. Tidak perlu pembuktian dengan adanya foto narsis Anda di depan salah satu distro tersebut, cukuplah dengan membelikan sebuah sweater, tas atau salah satu saja barang yang ada dijual di situ untuk orang-orang terkasih, maka Anda akan mendapatkan pengakuan tersebut. 
Tiga hari tiga malam waktu saya tersedot habis untuk berkeliling Kotamadya Bandung, niatan ke tempat-tempat wisata alamnya tak kesampaian. Meringkuk di dinginnya Dago, menikmati kuliner paket hematnya, juga terpesona melihat mojang-mojangnya. Cuaca dingin membuat nafsu makan saya naik, dan bukan cuma itu saja, nafsu birahi saya pun ternyata mengikuti ‘trend’ naik juga, hormon testosteron saya membakar dorongan seks. Apa karena tergerak masalah hormonal ini, lantas saya jadi seperti terhalusinasi melihat para mojang-mojang itu jadi seperti Drew Barrymore semua? Ah dasar otak mesum. Setelah dengan pikiran jernih saya mendekati para mojang itu, sebenarnya mereka memang cantik walaupun tanpa bersolek. 
Mungkin lain waktu saya bisa mengunjungi wisata alam di Bandung, jadi saya tidak perlu merasa kecewa yang teramat sangat. Saya juga tidak perlu menggantikan kegagalan berwisata alam itu dengan berwisata birahi di wilayah Saritem. Mungkin juga ada orang-orang Bandung sendiri yang belum pernah melancong ke tempat-tempat wisata alam itu, seperti saya orang Medan yang belum pernah ke Danau Toba. Sudahlah, saya tidak mau pusing memikirkan hal itu, karena saya dan teman saya harus meneruskan perjalanan kami ke Yogyakarta.

@ Yogya
Pukul dua puluh lebih tiga puluh menit, tujuh gerbong kereta api kelas ekonomi diberangkatkan dari Stasiun Kiaracondong, Bandung, menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Jarak tempuh sekitar 400-an km, hanya mampu dicapai dengan waktu sembilan jam perjalanan. Jangan pernah coba membandingkan Kereta Api Kahuripan ini dengan Kereta Api TGV di Perancis, yang mampu berjalan dengan kecepatan 574,8 km per jam. Bersyukur sajalah dengan kendaraan yang masih disubsidi pemerintah ini, karena cukup membayar Rp.25.000, kita bisa sampai ke Yogyakarta. Berbicara nyaman pun tak pantas di sini, sebaiknya sediakan saja uang recehan untuk berderma kepada para pengamen yang sikapnya kurang bersahabat dan tiada putusnya sepanjang perjalanan.
 Inilah untuk pertama kali saya dan teman saya jalan bersama ke Yogyakarta, sebelumnya kami melakukan perjalanan masing-masing secara terpisah, jadi kami harus menyatukan visi perjalanan ini dulu. Akhirnya kami sepakat, Borobudur dan Prambanan yang akan kami kunjungi, Parang Tritis kami coret dari jadwal kunjungan kami. Sementara tempat-tempat lain sembari jalan saja, lagian itu juga tidak mungkin terelakkan, seperti Malioboro, Alun-alun Keraton, juga angkringan. Ada yang terlupa, Pasar Kembang. 
Berbekal sepeda motor pinjaman, kami melesat ke Borobudur pada hari ketiga kami di Yogya. Sinar matahari yang menimpa tidak membentuk bayangan, matahari tepat di atas ubun-ubun ketika kami sampai di cagar budaya itu. Ini kali pertama saya ke Borobudur setelah sekian lama hidup di dunia ini. Senang bukan kepalang, meledak-ledak, nervous juga, tapi saya coba menahan sikap, karena takut dibilang norak sama orang-orang di situ. Tapi tetap saja sikap kampungan saya kelihatan, saya sibuk minta difoto di sana-sini, jepret sana jepret sini, minta difoto dari beberapa angle yang berbeda. Dasar! 
Jauh hari sebelum saya ke Borobudur, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, perihal tentang Borobudur yang termasuk salah satu dari tujuh keajaiban dunia tercetak di dalam buku pelajaran saat itu. Karenanya saya prihatin ketika mendengar Borobudur telah dicampakkan dari kelompok tujuh keajaiban dunia tersebut. Warga dunia mungkin bersekongkol untuk mengkerdilkan wisata di Indonesia. Atau jangan-jangan karena kita tidak pintar melestarikan peninggalan-peninggalan berharga di negeri kita. 
Pemandangan yang saya saksikan saat berada di Borobudur saat itu setidaknya membuat saya sangat terhibur. Bukan karena pemandangan candi dan alam di sekitarnya yang memang indah, tapi karena candi itu masih banyak dikunjungi oleh wisatawan. Mulai dari turis mancanegara bermata sipit, juga turis ‘bule’ bertubuh jangkung, sampai turis domestik. Pengunjung dari luar negeri rata-rata diiringi guide tour yang terbekali wawasan tentang Borobudur, mereka bukan hanya bisa menikmati keindahan candi, tapi juga penjelasan ringkas tentang Borobudur, setidaknya bisa menambah pengetahuan. Bagi pengunjung yang menganut agama Budha, mereka juga bisa melakukan ritualnya di situ. Sedangkan pengunjung lokal, saling mencari makna sendiri-sendiri, atau silahkan menguping, karena tidak ada guide tour yang mendampingi. Atau baca sajalah informasi-informasi ringan yang ada di sekitar candi. Para orang tua yang membawa anak-anaknya tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang Borobudur, maka jadilah candi tersebut seperti taman bermain yang mengundang emosi pengurus candi yang terluap melalui beberapa pengeras suara di sekitar Candi Borobudur. 
“Perhatian untuk seluruh pengunjung Candi Borobudur. Dilarang memanjat dinding-dinding candi, dan juga bagian-bagian candi yang lain, sekian dan terima kasih”.
Kurang lebih seperti itulah bunyinya, dikumandangkan dengan Bahasa Indonesia, pasti tujuannya untuk orang Indonesia, karena tidak ada diucapkan dengan bahasa lain. Himbauan yang bisa terdengar setiap setengah jam sekali. Saat saya perhatikan, memang ada beberapa anak-anak kecil, remaja bahkan orang dewasa lokal yang memanjat dinding agar bisa melihat-lihat pemandangan di sekitar atau sekadar untuk berfoto, tetapi turis asing juga ada yang memanjat. Diskriminasi! Atau karena takut dengan orang luar. Seperti yang saya perhatikan saat ngaso di dekat pintu masuk ke candi, beberapa petugas berjaga untuk mengarahkan pengunjung yang mau keluar ke arah pintu keluar sesungguhnya. Jika pengunjung lokal yang salah jalan, petugas akan menunjukkan jalan keluar, jika pengunjung berkeras, maka petugas lebih keras, intinya, petugas adalah pemenang akhirnya. Lucunya, di saat seorang turis mancanegara salah jalan, si petugas tetap juga mengarahkan ke jalan keluar utama, tapi kali ini si turis berkeras, tahu apa yang terjadi? Si petugas ciut, si cewek bule itu dibiarkan berlenggang kangkung menuruni tangga. Pak penjaga itu kali ini kalah, dia tidak bisa menegaskan hukum adalah hukum. Dasar mental terjajah.
Pintu keluar-masuk Candi Borobudur dirancang terpisah untuk memberikan kenyamanan kepada para pengunjungnya, agar pengunjung yang masuk dan keluar ke candi tidak saling berdesak-desakan. Di pintu masuk, beberapa juru foto akan segera menyambut hangat menawarkan jasa fotonya, sedangkan di pintu keluar, pengunjung akan digiring ke mini sentra perbelanjaan cinderamata, para pedagang pun terus berusaha menawarkan dagangannya kepada para pelancong. Bagi yang punya uang, bisalah membeli beberapa miniatur Candi Borobudur, atau baju bergambar Candi Borobudur, bagi  saya dan kawan saya yang bokek, hanya menjawab “Tidak” kepada setiap pedagang yang menawarkan, sembari berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat parkir. 


      Letih tidak sanggup menggerogoti rasa penasaran, terbukti ketika saya dan teman saya akan berangkat ke Prambanan. Sehari sebelumnya, saat kami pulang dari Borobudur badan saya serasa remuk-redam, malamnya pun kami hanya istirahat beberapa jam, tapi keesokan paginya kami bisa terbangun sesuai rencana. Usai mandi, kami langsung memacu sepeda motor di jalan raya, menuju Prambanan tanpa sarapan pagi. 
Gempa berkekuatan 5,9 pada skala richter yang mengguncang wilayah Yogyakarta pada tahun 2006, masih meninggalkan bekas di Prambanan. Setibanya kami di Prambanan, candi ini masih dalam tahap perbaikan, hanya dua candi dalam keadaan sehat wal’afiat, selebihnya sedang dalam perawatan intensif. Trisakti harus tetap mengkilap, Siwa dan Brahma sepakat mengutus sang Pemelihara, Wisnu bergegas menunggang Garuda lantas berada di ketinggian beribu kaki, lalu mengerlingkan mata kepada dunia untuk menebar pesonanya. Alhasil, daya pikat candi ini tetap ada, terlihat dari masih ramainya wisman dan wisdom yang berkunjung ke situ. Sukses! Provokasi yang dilakukan Siwa dan Brahma terhadap Wisnu berhasil. 
Informasi ringan tentang Candi Prambanan terpajang di dekat pintu masuk dan di sekitar candi, tidak usahlah saya tuliskan di sini. Jika Anda ingin mengetahui, ada baiknya Anda meminta bantuan Mr.Google di dunia maya. Anda tidak perlu mengintimidasi, cukup ketik Prambanan, maka akan banyak informasi yang mengarah ke situ. Waktu kami berplesiran bertepatan dengan waktu libur panjang anak sekolah, tak heran saat itu kami mendapatkan gerombolan pelajar dari dalam maupun luar Kota Yogyakarta yang mengikuti acara study tour di Candi Borobudur dan Prambanan. Jika di zaman saya masih sekolah dulu acara rekreasi seperti ini belum disebut pakai bahasa Inggris (study tour, maksud saya), tapi tujuannya tetap sama, yaitu belajar sambil berwisata guna memperkenalkan secara langsung kepada para pelajar tempat-tempat bersejarah di Tanah Air. Walaupun tempat-tempat yang kami kunjungi dulu lebih didominasi oleh museum dan kebun binatang, tapi semangat dan keceriaan yang kami rasakan dulu sama seperti yang dirasakan pelajar-pelajar ini. Rezeki yang berbeda tapi kadar kebahagiaannya sama. 
Senang sekali rasanya melihat para pelajar begitu antusias terhadap candi-candi ini, kebawelan mereka yang kadang membuat beberapa guru jadi gagap menjawabnya, keusilan mereka terhadap bangunannya, juga tingkah narsis mereka yang demen foto sana, foto sini. Ternyata saya sangat asyik masyhuk memperhatikan para pelajar itu, tanpa saya sadari, tiba-tiba siang sudah mau the end saja, puncak kunjungan kami ke Prambanan itu ditutup dengan pemandangan sore yang sangat indah, semakin indah ketika segerombolan mahasiswi berbondong memasuki halaman Candi Prambanan. Bila melihat pelajar tingkat SD, SMP dan SMU saya teringat masa laluku, berbeda ketika saya melihat para mahasiswi ini, saya seperti melihat masa depan saya. Muda-muda, cantik dan ramah, ah...seperti melihat Rara Jonggrang dan kloningannya, ingin rasanya saya memperkenalkan diri sebagai Bandung Bandawasa kepada mereka dan berjanji akan membuatkan seribu desain grafis dalam satu malam jika mereka mau saya persunting menjadi permaisuri. 
Jantung manusia berdenyut 70-80 kali per menit dengan teratur, saya merasakan sesuatu yang tidak normal dalam jantung saya, karena degupannya lebih kencang dan tak beraturan, jika denyut jantung saya didengar menggunakan stetoskop, maka akan didapatkan bunyi DUG-DUG-dug-DUG-DUG-DUG-dug tanpa fase istirahat dan tanpa ritme. Penyebabnya adalah, ah...masalah klasik, karena perempuan. Seorang perempuan berkulit kuning langsat, wajahnya oval, rambutnya sebatas bahu, matanya bagus, alisnya juga bagus dan halus mendekat ke arah saya sembari mengumbar senyum. Oh...Gusti! Diakah Rara Jonggrang itu, atau dia Drupadi Seda? Kemudian, di belakangnya menyusul lagi seorang perempuan bertubuh jangkung, wajahnya begitu mempesona, senyumnya juga, hidungnya begitu spesifik serta proporsional sehingga melengkapi kemanisan di wajahnya. Ini bukan mimpi! Sungguh, karena mereka berdua lalu memperkenalkan diri kepada saya sebagai mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung yang sedang mengikuti study tour di Candi Prambanan. Mereka meminta saya untuk menjawab beberapa pertanyaan yang mereka ajukan guna melengkapi survey study mereka. Naluri jantan saya menyala, mulai dari menggoda kecil, gombal sana-sini hingga seribu puja-puji saya lontarkan. Alhasil, perbincangan kami jadi hangat, ngawur kesana kemari. Cinta memang akrab dengan hambatan, di saat benih-benih cinta sudah mulai tumbuh, kami justru dipisahkan oleh pak dosen yang tak rela membiarkan kami terus terhanyut dalam obrolan kekasih hati di sore itu. Mereka harus segera kembali ke hotel, saya tak berdaya sembari merenung, ternyata mojang-mojang Priangan memang terlihat cantik dalam kondisi cuaca apapun. Saya ralat kata-kata sayasebelumnya di atas tentang gadis Bandung dalam cuaca dingin. Saya terkena kutukan love at the first sight, saya jadi motah malamnya. 
Keseriusan para pelajar perlu ditanggapi, semangat mereka juga harus didukung, alangkah indahnya jika para guru, pakar, ilmuwan dan pemerintah duduk satu meja untuk mencari temuan cara belajar baru bagi para anak didik, setidaknya agar para peserta didik tidak hanya memandang Borobudur dan Prambanan bukan hanya tumpukan batu yang berbentuk candi atau hanya terhanyut dalam legendanya saja, tapi bagaimana agar mereka bisa mendapatkan, misalnya semangat dan ketekunan masyarakat dulu yang mendirikan candi-candi tersebut di kisaran tahun 800 Masehi itu, juga mendekatkan mereka kepada ilmu hitung-hitungan membangun candi ini yang menggunakan sistem interlock dengan cara yang sangat menghibur tentunya. Karena jika dilihat pada kenyataannya, banyak pelajar yang merasa jeri dengan matematika, ngeri untuk memahami kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan belum tertarik dengan peristiwa sehari-hari yang dekat dengan ilmu fisika. 
Sementara, biarlah dulu ini menjadi urusan yang punya wewenang, karena saya dan teman saya adalah individu yang tak bisa berbuat banyak untuk hal semacam itu, dan juga karena kami harus melanjutkan lagi misi jalan-jalan kami ke Pulau Dewata.....

2 komentar:

  1. dua candi yg lu datengin itu udah ga ada ancient aura-nya rif... udah penuh org, udah dikelilingi taman buatan tukang kebun modern... lu kesana cuma sekedar nyocokin tumpukan batu itu sama pelajaran SD lu.

    next time klo ke jogja lagi, kunjungi Candi Ratu Boko.
    di sana lo bisa menemukan aura masa lalu yg masih sangat kental. di sana sepi, dan lu bisa berimajinasi sehebat apapun tentang masa2 ketika candi itu msh kratonnya Rakai Panangkaran...

    trus klo ke bandung lgi, klo cuma pny waktu di dlm kota aja, mending wisata ke pasar2 loaknya. di sana byk flea market baju & buku2 bekas. dan lu bisa membeli sesuatu dgn bujet rendah.
    pengalaman pribadi hihihi...

    btw punya blog kagak lapor lu ye! :P

    BalasHapus
  2. kapan kita jalan bareng mbak? kemarin gak bisa ikut lu ke jogja karena baru kelar deadline, lagi capek juga lagi bokek (krn honornya blm dibayar)...hehehehe

    BalasHapus